13. Kemahatahuan Allah

143 41 2
                                    

Tas yang tercangklong di bahu kanan dan melorot itu, ia betulkan sekali sentak. Dipandangnya pemukiman di depan mata cermat, lantas terfokus pada sosok perempuan renta yang memikul wadah. Perempuan itu terseok beberapa kali sebelum akhirnya jatuh dengan air tumpah ruah.

Asgard dan Hamid membulatkan mata sejenak, lalu berlari menghampiri perempuan itu. Keduanya membantu tanpa diminta.

"Bibi tidak apa?" Hamid mencoba membantu perempuan itu berdiri. Namun, belum sempat menyentuh ujung selendangnya, perempuan itu sudah lebih menepis tangan Hamid dengan kasar.

Asgard yang melihat, sontak terkejut. Ada apa? Kenapa begitu? Meski banyak pertanyaan bersarang di kepala, ia memilih bungkam.

"Aku tidak mau disentuh orang hina sepertimu, meskipun hanya seujung kainku," sentak perempuan itu, membuat Hamid tertunduk dalam.

Mata Asgard tak bisa tak melotot. Ia semakin penasaran masalah seperti apa yang tengah dihadapi Hamid. Sampai-sampai, kata serupa "hina" terlontar untuk pemuda di sampingnya.

"Maaf, Bibi. Bukankah Hamid hanya berniat membantu?" Asgard berusaha menenangkan perempuan itu.

Decakan lolos dari ibu tua di hadapan Asgard dan Hamid. Ia terlihat sangat membenci salah satu dari keduanya. Pandangan menghunus pun tak lupa ia hujamkan pada lelaki yang berdiri gemetar di samping Asgard.

"Aku tidak membutuhkan bantuan dari seorang pendosa seperti Hamid, Anak Muda. Dia begitu menjijikkan hingga aku, bahkan semua orang di sini malas mengakui keberadaannya. Sebaiknya kamu juga menjauhi Hamid agar tidak terbawa tabiat buruknya." Ia merebut wadah yang masih berada di tangan Asgard, lantas pergi begitu saja.

Hamid menarik napas dalam dan panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Lelaki itu berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali--menangis--karena kalimat menyakitkan yang baru saja didengar. Meskipun Hamid tampak sangar, lelaki itu memang memiliki jiwa yang rentan.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Kedua alis Asgard tertaut dengan kerutan di atasnya. Ia menatap Hamid antara penasaran dan prihatin. Asgard yakin, kalimat itu benar-benar menyakitkan untuk siapa pun, tak terkecuali Hamid.

"Aku sering dituduh mencuri dan melecehkan para gadis di desa ini. Padahal, aku sama sekali tidak melakukan itu. Semua tuduhan itu mengarah padaku setelah pejabat desa diganti beberapa minggu lalu. Bukan bermaksud menuduhnya, Asgard, tapi begitulah adanya." Hamid berjalan menuju salah satu pohon kurma yang ada sana, lantas duduk di bawahnya.

Asgard menyusul pemuda itu. "Bukankah itu hanya tuduhan? Seharusnya mereka tidak asal menghukumimu."

Sejenak Hamid memejamkan mata untuk mengurangi sesak di dada. Setelah kembali membuka netra, tangannya meraup sedikit pasir, lantas membuangnya kembali secara perlahan. Butiran pasir itu tertiup angin, membuatnya tak jatuh tegak lurus, melainkan sedikit membentuk sudut dengan tangan pemuda itu.

"Itu masalahnya. Entah kenapa, mereka selalu menemukan bukti barang curian di sekitar bahkan dalam rumahku. Lebih aneh lagi, gadis-gadis itu selalu menyebut namaku ketika ditanya siapa pelaku yang telah melecehkan mereka. Bagaimana aku bisa mengelak, Asgard? Itu alasanku sering datang ke Madain Saleh, untuk melarikan diri." Hamid terkekeh kecil.

Sementara Asgard yang mendengar itu, dibuat bingung. Jadi, ia harus percaya pada Hamid atau bukti yang ada?

Tanpa sadar, ekspresi Asgard terbaca oleh pemuda bergigi putih bersih di sampingnya. "Kamu tidak percaya, ya? Aku memang sulit dipercaya jika mengarah ke bukti-bukti itu, tapi aku punya Allah yang membuatku tak mungkin berbohong. Dia tahu segalanya, mana mungkin aku berani berbohong, Asgard? Aku juga memiliki seorang ibu dan adik perempuan. Jelas aku tidak mau mereka dilecehkan. Lantas, kenapa aku harus melecehkan perempuan lain jika aku tidak mau hal itu terjadi pada keluargaku? Aku difitnah."

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang