Dalam sujud, tumpah air matanya. Sesenggukan dengan dada sesak, terpatah-patah doa yang dimunajatkan diam-diam pada Tuhan. Baru benih harap yang ia tanam, tetapi luka tak karuan yang sudah didapat.
Bangkit dengan cucuran air mata di pipi, basah sudah tempatnya mempertemukan dahi dengan Ilahi. Luruh dalam rasa bersalah, karena sudah berani-beraninya mengharapkan makhluk-Nya. Ia harus menerima, bahwa begitulah Tuhan menunjukkan kecemburuan-Nya.
Ditolehkannya kepala ke kanan dan ke kiri bergantian, perlahan, penuh takzim seakan berhadapan langsung dengan Yang Maha Melihat. Saat dua telapak tangannya mengusap wajah, luruh lagi air mata itu, membasahi tengadah yang baru ia buka.
"Sesungguhnya Kau yang ada di sisiku, Allah. Tapi aku justru lancang berharap pada kalimat lelaki itu. Astaghfirullah, Allah, Allah. Tunjukkan kebenaran padaku atas alur takdir-Mu. Aku tidak ingin terjebak dalam rasa semu yang Kauujikan. Allah ...." Bak memeras air mata, dipejamkan mata erat-erat sambil tergugu dengan bahu bergetar hebat.
Kilas memorinya seketika melayang pada masa itu, masa di mana ia masih berbagi kamar dengan santriwati lain. Sebuah kebiasaan, pembimbing yang ditempatkan di kamar mereka akan mengajak berbincang santai akhir pekan di gazebo belakang pondok putri. Banyak hal yang mereka bagi satu sama lain, kesulitan menghafal, gagal setor hafalan, sampai saling lempar guyonan.
Siang itu, setelah jamaah Zuhur, mereka berkumpul dengan topik bahasan yang cukup berbeda dari sebelum-sebelumnya. Cinta. Meskipun hidup di lingkungan pondok, mereka tetap akan mengalami fase itu, terlebih sebentar lagi mereka akan lulus Aliyah.
Seorang santriwati bernama Nida melemparkan celetukan setengah bercanda, "Nanti kalau keluar pondok, terus kuliah, kita bakal canggung nggak, ya, kalau ketemu cowok? Kan di sini terbiasa bergaul sama ukhti-ukhti cantik."
Tawa mereka berderai, tak terkecuali pembimbing dengan lesung pipi itu.
"Gaya kali kau, Da. Biasanya juga banyak tingkah kalau ada kesempatan ketemu sama santri waktu pengajian umum," cibir Bona.
Lagi-lagi tawa mengudara, tetapi tidak dengan pembimbing. Melihat junior serta kawan seperjuangannya selama hampir tiga tahun, membuat ia mengerti ke-random-an mereka. Gelengan kepala kecil diberikan sebagai gantinya.
"Kak Tiur, bagaimana jika suatu saat, kita jatuh cinta pada lelaki yang belum halal untuk kita? Apakah itu termasuk zina? Dan apa yang harus kita lakukan?" Pertanyaan tegas Nizwa saat itu, membuat suasana seketika hening. Yang lain pun penasaran.
Senyum manis terbit di bibir Tiur, pembimbing mereka. "Perlu diketahui, bahwa perasaan-perasaan semacam itu adalah anugerah dari Allah. Tidak salah sama sekali, itu wajar. Yang perlu digarisbawahi adalah cara kalian menyikapinya, apakah dengan cara yang baik atau sebaliknya.
"Khadijah ra melamar Rasulullah lebih dulu dan menyampaikan hajatnya melalui Nafisah binti Ummayyah, sebelum Rasulullah yang melamar Khadijah melalui sahabat-sahabatnya. Putri Rasulullah, Fatimah az Zahra menyimpan rasa cintanya pada sahabat Ali bin Abi Thalib. Lamaran dari sahabat yang lain datang, namun ditolak. Pada akhirnya, kuasa Allah, dua orang yang memang saling kagum diam-diam itu dipertemukan dalam ikatan pernikahan."
Semua santriwati fokus mendengarkan, tanpa berniat menyela sedikit pun.
"Dari dua kisah itu, kita bisa mengambil ibrah tentu saja. Kita diberi pilihan oleh Allah, menyampaikan kekaguman itu atau menyembunyikannya sampai Allah memberi jawaban. Tentu saja, harus dengan cara yang baik dan benar. Jika menyatakan, jangan dengan niat agar dijadikan pacar, tetapi minta kepastian dan keseriusan. Kalau dia tidak mau, ya jangan dipaksa, ikhlaskan. Mungkin jodoh kalian memang bukan dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan sang Musafir (Completed)
SpiritualDunia terlalu luas bagi mereka yang menenggelamkan diri di sudut kamar. Namun, terlalu sayang dilewatkan bagi mereka yang suka berpetualang. Dalam perjalanannya mencari jati diri, Asgard Al Fatih menemui banyak karakter manusia. Mulai dari yang dika...