17. Embel-Embel Agama

133 39 5
                                    

"Nikahilah adikku, Asgard. Nikahi Akifa. Aku akan sangat tersanjung jika kamu menerima rasa terima kasihku dengan menikahinya. Aku pastinya juga akan tenang melepas Akifa untuk pemuda sebaik dirimu."

Tolong katakan pada Asgard bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah sebuah lelucon. Jelas itu membuatnya melongo, tak berbeda dengan Marya yang memberi respons sama. Sementara gadis yang dibicarakan, diam-diam menunduk di balik sekat ruangan, ia mendengar semua yang dikatakan sang kakak.

"Kamu bercanda, Hamid?" Suara Asgard terdengar dingin, tak seperti sebelum-sebelumnya yang hanya terkesan datar.

Gelengan diberikan Hamid untuk pemuda itu. Jelas sorot matanya menampilkan keseriusan. "Aku tidak main-main dengan ucapanku. Apa lagi ini berkaitan dengan masa depan adikku."

Sungguh Asgard dibuat tak habis pikir. Apa setiap negara yang ia kunjungi akan berakhir dengan seperti ini? Ayolah, cukup Moana yang ia patahkan hatinya, jangan lagi.

"Aku menolak dengan tegas." Ekspresi Asgard kembali ke mode datar dan tenang. Ia tidak mau tersulut dan tidak akan. "Akifa masih muda. Kurasa, seumuran adikku. Seharusnya kamu mendukungnya untuk fokus belajar, Hamid."

"Aku tidak keberatan jika itu yang diinginkan Kak Hamid. Aku rida menikah dengan Kak Asgard. Kak Hamid pasti ingin yang terbaik untukku. Di samping itu, aku juga yakin bahwa Kak Asgard pemuda yang baik pula." Akifa tiba-tiba datang dengan wajah memerahnya, tampak jelas pula bahwa gadis itu salah tingkah. Meskipun menunduk dalam, mereka yang ada di sana melihat senyum malu-malu Akifa.

Asgard dibuat semakin tak habis pikir. Spontan, ia memijit pelan pangkal hidungnya.

"Duduklah, Akifa," pinta Hamid.

Perempuan tujuh belas tahun itu lantas duduk di samping Marya.

Kekehan pelan lolos dari bibir Asgard. "Jadi, kamu sedang melamarku untuk adikmu, Hamid?" Ia beralih menatap Akifa. "Juga, kuakui keberanianmu, Akifa. Jujur, kamu perempuan kedua yang berani berkata perihal pernikahan setelah perempuan blak-blakan yang kutemui di Swiss."

Akifa menunduk semakin dalam. Entahlah, ia merasa terintimidasi oleh kalimat Asgard. Ia merasa bahwa Asgard sengaja mengatakan itu untuk membuatnya berubah pikiran dan jujur, itu agaknya berhasil. Jelas tadi Asgard menekankan kata perempuan yang ditemuinya di Swiss. Akifa jadi berpikir bahwa lelaki itu sudah memiliki perempuan idaman lain.

Di samping itu, muncul banyak kemungkinan di kepala Akifa. Mungkin perempuan yang dimaksud Asgard lebih cantik darinya, lebih segala-galanya. Tidak mustahil, bukan, jika Asgard menolak permintaan Hamid?

"Maaf, Asgard. Aku belum pernah bertanya padamu tentang ini. Apa ... kamu sudah memiliki istri atau mungkin calon pendamping? Maaf sekali lagi jika aku lancang." Dahi Hamid berkerut, ia jadi merasa tidak enak pada Asgard. Ia benar-benar lupa dengan kemungkinan yang satu itu. Mana mungkin ia mau melamar lelaki beristri untuk adiknya? Mana mungkin juga ia membiarkan Akifa melakukan takhbib? Gila.

Dua perempuan yang ada di sana pun ikut tertegun dengan pertanyaan Hamid, benar juga. Mereka hanya tahu bahwa Asgard pergi ke Madain Saleh untuk melancong dan memutuskan singgah untuk membantu Hamid. Mereka tidak tahu bagaimana latar belakang Asgard.

Asgard menegakkan posisi duduk dan tertawa kecil. "Hidupku dan apa yang ada di dalamnya adalah urusan pribadiku, Hamid. Tidak perlu orang lain tahu, terlebih ... kita hanya teman yang baru bertemu. Jadi, haruskah aku menjawabnya?"

Mereka yang ada di sana menunduk bersamaan, merasa sudah berlaku tak sopan pada pemuda itu. Siapa yang mendengar kalimat Asgard akan langsung tahu bahwa itu sindiran telak. Akifa rasanya kehilangan muka hanya untuk mendongak dan melihat wajah Asgard. Benar, sepertinya ia terlalu lancang.

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang