14. Tuduhan Pelecehan

131 37 3
                                    

Setelah berhasil menenangkan dan meyakinkan warga, Asgard berusaha membujuk Hamid untuk membuka pintu. Sulit memang pada awalnya karena ketakutan lelaki itu, tetapi ia membuat Hamid yakin bahwa semua akan baik-baik saja.

Kini, mereka duduk di kursi kayu usang secara berhadapan. Ada Asgard, Hamid, dan ibu Hamid di satu sisi, sementara di sisi lain ada si korban yang diketahui bernama Marya bersama ibu dan pamannya. Warga yang lain sudah diminta meninggalkan rumah Hamid, dengan jaminan yang diberikan Asgard tentu saja.

Sesekali Asgard tampak masih menyeka pelipisnya yang berdarah, meskipun cairan kental kemerahan itu sebenarnya sudah kering. Sudah dibilang, mendapat luka seperti itu tidak seperti di film-film yang kelihatan biasa saja. Sakit.

Marya yang tidak berani mengangkat pandangan, hanya menunduk sambil memilin ujung kain kerudung yang dikenakan. Perempuan itu sangat gelisah, terlebih ia yang menjadi saksi kunci dari kejadian mengerikan itu.

"Jadi, apa benar Hamid yang melakukannya, Marya?" tanya Asgard. Tatapan matanya begitu dalam terarah pada perempuan itu. "Kamu bisa mengatakan semuanya, jangan takut. Jika memang Hamid, jangan ragu mengungkap kebenaran. Namun jika bukan, seperti yang sudah kukatakan, Allah Maha Mengetahui."

Marya masih diam, sama sekali tak memberi tanggapan atas pertanyaan Asgard. Sementara di tempatnya, Hamid masih memegang tangan sang ibu dan mengelusnya lembut, berusaha meyakinkan bahwa ia tidak bersalah.

"Cepat! Katakan saja, Marya!" Paman Marya menyentak, merasa tak sabar menunggu sang keponakan berbicara.

"Bu-bukan Hamid." Tangis Marya seketika pecah, bersamaan dengan Hamid dan ibunya yang mengembuskan napas lega.

Ibu dan paman perempuan itu menatap Marya tidak percaya. Mana mungkin jawaban bisa berubah secepat itu? Bukankah ia mengatakan bahwa Hamid pelakunya beberapa jam yang lalu?

"Jangan berusaha melindungi Hamid, Marya! Ibu tahu kamu menyukainya, tapi tidak seperti ini!"

Asgard dan Hamid sama-sama membulatkan mata. Jika Asgard terkejut karena mengetahui kenyataan itu, lain halnya dengan Hamid yang terkejut karena ternyata ibu Marya mengetahuinya. Memang, dua orang itu saling menyukai sejak lama. Mendengar Marya dilecehkan subuh tadi, benar-benar membuat Hamid marah bukan kepalang, tetapi tidak bsa berbuat apa-apa. Justru, ia yang dituduh menjadi pelaku.

"Aku jujur, Ibu. Meski memang benar aku menyukai Hamid, tapi bukan dia pelakunya. Aku memfitnahnya karena ancaman lelaki brengsek itu."

Tatapan nanar dari semua orang yang ada di sana mengarah pada Marya. Mereka sama-sama terkejut, perempuan itu mengatakannya dengan sangat serius. Lagi, isakan keras lolos dibarengi dengan bahunya yang bergetar hebat. 

"Apa kamu mau mengatakan siapa dia, Marya?" tanya Asgard dengan sangat hati-hati.

Marya tak langsung menjawab karena tangisnya. Mereka yang ada di sana pun tak berniat menyela, memilih membiarkan perempuan itu meluapkan sakit hati untuk beberapa saat. Sepuluh menit dalam kebisuan, Marya akhirnya berkata dengan terbata, "Pe-pejabat desa yang baru itu dan beberapa anak buahnya."

Lemas adalah kata yang cocok untuk menggambarkan kondisi Asgard kini, tak jauh berbeda dengan Hamid dan yang lain. Lelaki itu menyandarkan punggung dan sedikit meluruh di sana. "Artinya, tidak hanya satu orang?"

Marya mengangguk pasrah. "Aku benar-benar merasa hina sekarang. Ditambah, aku sudah membuat Hamid menjadi sasaran kemarahan warga. Aku malu, sangat malu."

Ibu Marya tampak sangat terpukul, antara terlalu kecewa karena sang putri telah berbohong, juga memikirkan masa depannya. 

"Sejak kapan Ibu mengajarimu berbohong, Marya? Ibu gagal mendidikmu. Apa yang harus Ibu katakan pada ayahmu di sana, nanti?" raung ibu Marya, "Allah ... apa aku sanggup menghadap-Mu nanti jika seperti ini?"

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang