Siang menjelang. Baik Asgard maupun Xia masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Xia berbincang dengan orang-orang yang mengurus bar sembari merencanakan perjalanannya ke Sisilia esok hari.
"Pastikan anak buahmu bekerja dengan baik kali ini, Dante. Aku tidak ingin kabar kematianku sampai ke ibuku di Sisilia melalui orang-orang itu," peringat Xia.
Dante terkekeh kecil, perempuan itu masih saja kesal terhadapnya perkara alat pelacak di ponsel dan jam tangannya yang sudah raib. Bagaimana tidak? Terlambat sedikit saja, nyawa Xia bisa melayang.
"Tenang saja, Xia. Besok kamu bisa berangkat pagi-pagi sekali bersama suruhanku. Kali ini, akan kupastikan kamu akan aman. Jika tidak, akan kupenggal sendiri kepala anak buahku."
Anggukan sekali diberika oleh Xia. Ia kembali fokus pada koran harian di tangannya. Ah ... bagaimana pun ia tidak boleh ketinggalan informasi meskipun caranya agak jadul.
"Lalu, bagaimana dengan teman brengsekmu itu? Kamu yakin akan membawanya ke Sisilia?" Dante memutar kursi bar agar menghadap langsung pada perempuan di sampinya. Xia pun melakukan hal yang sama.
"Bagaimanapun, ia memang terlibat karena aku. Setidaknya, aku akan bersamanya sampai ke Sisilia, setelahnya terserah, aku tidak peduli."
Dante mengelus lembut kepala perempuan itu. "Aku sempat khawatir kamu akan menyukainya."
Kekehan lolos, Xia merasa geli dengan kalimat lelaki itu. Ia turun dari kursi tinggi tersebut dan berdiri di antara kaki Dante. Tangannya melingkar sempurna di pinggang lelaki itu.
"Aku memang sempat tertarik, tapi sepertinya dia tidak bisa diajak bersenang-senang." Xia berjinjit dan berbisik tepat di telinga lelaki itu, "Kamu tahu maksud senang-senang bagiku, bukan?"
Xia mengecup singkat pipi Dante dan berlalu dari sana.
"Andai kita tidak terlibat dengan organisasi sialan itu, Aggye."
-o0o-
Jika menangis saja cukup untuk membayar rasa bersalahku pada diri sendiri dan Tuhan, aku akan menangis sejadi-jadinya. Pukulan telak bagiku, lebih dari dua dasawarsa tidak menyentuh minuman keras, aku kalah hanya karena seorang perempuan.
Tidak bisakah Kau akhiri perjalananku di Itali yang bak jalan buntu ini? Aku takut terjebak semakin dalam. Aku masih manusia biasa dan akan tetap menjadi manusia biasa.
Labirin Buntu
Musafir Buta Arah
Asgard langsung menutup jurnal dan memasukkannya ke dalam ransel. Ia beralih pada kamera hitam putih pemberian Aysun, dilihatnya lagi potret Xia di sana. Tanpa pikir panjang, lelaki itu langsung menghapusnya. Tak ada lagi jejak Xia di sana.
"Tidak ada gunanya kamu meratapi kejadian semalam, Asgard. Tidak ada yang bisa kamu ubah sama sekali. Aku berani bertaruh, itu ciuman pertamamu, kan?"
Lelaki itu menoleh ke arah pintu, tepat ke asal Xia menyandarkan tubuh di kusen pintu.
"Apa itu penting? Kurasa tidak, aku tidak perlu menjawabnya." Nada dingin Asgard begitu mendominasi. Meski jujur, ia memang tengah meratapi kejadian itu.
Xia berjalan mendekat dan ganti bersandar pada meja tempat Asgard menulis. Perempuan itu menunduk agar bisa memandang Asgard dengan leluasa. "Bagaimana dengan temanmu itu? Yang tadi pagi."
Mata Asgard memicing. Apa maksud Xia, Snotra? Ah ... ia bahkan tak melakukan apa pun terhadap gadis itu.
"Untuk apa? Entah kesalahpahaman itu diluruskan atau tidak, tidak akan berpengaruh apa pun untuk hidupku." Asgard beranjak sambil menenteng ransel, hendak diletakkan di nakas samping tempat tidur. Membiarkan benda itu jauh darinya tentu akan menjadi masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan sang Musafir (Completed)
SpiritualDunia terlalu luas bagi mereka yang menenggelamkan diri di sudut kamar. Namun, terlalu sayang dilewatkan bagi mereka yang suka berpetualang. Dalam perjalanannya mencari jati diri, Asgard Al Fatih menemui banyak karakter manusia. Mulai dari yang dika...