16. Yang Diraup para Korup

132 40 3
                                    

Pandangan sayu Asgard tertuju pada lelaki tambun yang berdiri di sana. Berbeda dengannya, Marya justru menghunskan pedang lewat sorot matanya. Kebencian nyata berkobar dalam mata bulat itu.

"Dasar biadab!" pekik Marya, tak peduli dengan apa yang kemungkinan akan ia terima.

Lelaki paruh baya itu mendekat, melangkah, menimbulkan ketuk samar tumbukan sepatu mengkilatnya dengan lantai kayu. Senyum miring tersungging sempurna di bibir kehitamannya. Sungguh, Marya ingin meludah di wajahnya.

"Kamu cukup berani, Anak Muda." Tubuhnya dicondongkan dengan dua tangan tertumpu pada meja. Kepalanya menoleh sempurna pada Asgard yang sesekali mendesis kesakitan. "Juga, sepertinya kamu bukan orang sekitar sini. Dari mana asalmu?"

Tak langsung menjawab, Asgard malah terkekeh pelan, tetapi ada ringisan di sela-selanya. Pemuda yang tadinya menunduk itu lantas mendongak, menatap sang lawan bicara dengan tenang.

"Sejak tangis pertamaku terdengar, aku sudah memilih untuk menjadi berani menghadapi segala hal. Terlebih, menghadapi manusia yang bukan manusia sepertimu." Lagi, Asgard terkekeh.

Sontak, tamparan keras melayang pada pipi kiri Asgard. Pekikan Marya tak terhindarkan, menggema di ruang yang sejatinya sunyi.

Memandangi Asgard yang meludahkan darah di tempatnya, Marya semakin memberontak, berusaha setidaknya mengendurkan ikatan pada tubuh. Kursi kayu yang diduduki oleng tak terkendali. Berdebum terdengar bersamaan dengan Marya yang terjatuh menyamping bersama kursi itu.

"Jangan sakiti Asgard, aku mohon." Tak dipedulikannya nyeri pada bahu yang menghantam lantai, Marya terus histeris.

"Ini memang sakit, Marya. Namun, tenang saja, aku masih bisa mengatasinya," lirih Asgard yang masih terdengar jelas.

Seakan tak mendapat jeda atas amarahnya, lelaki tambun itu menendang meja hingga tergeser. Ia lantas beralih tepat ke hadapan Asgard, membungkukkan badan, menelanjangi pemuda itu dengan tatapan mata.

"Benar-benar angkuh." Dicengkeram erat-erat leher Asgard. Matanya melotot lebar, bahkan urat-urat di lehernya ikut menonjol. Padahal, tumpukan daging seharusnya bisa menutupinya, tetapi nihil. Sang pejabat desa yang baru itu terlanjur tersulut puncak egonya.

Asgard megap-megap. Belum hilang sama sekali nyeri di kepala, ia sudah mendapat cekikan itu. Wajahnya sontak memerah kebiruan, pasokan oksigennya terhambat.

"Lepaskan Asgard!" pekik Marya, masih dalam posisi rebah menyamping dengan ikatan tanpa mengendur sedikit pun. Air matanya semakin deras lolos. Batinnya serasa tertikam melihat kondisi pemuda yang membantunya itu.

"Allah ...." Asgard terus menggumamkan kata yang sama.

Pejabat itu berdecih, bahkan muncratan ludahnya mengenai wajah pemuda di hadapannya. Ia lantas sejenak mengendurkan cekikan dan berkata, "Nyawamu sekarang ada di tanganku, untuk apa kamu menyebut Allah?"

Setelah sempurna mendapat cela atas jalan napasnya, Asgard meraup udara kasar. Hampir saja ia mati dengan cara konyol.

"Kamu bukan tangan kanan Tuhan, bagaimana mungkin nyawaku ada di tanganmu, Tuan? Tangan-tangan itu hanya susunan tulang yang dibalut daging dan kulit. Tanpa Tuhan, tanganmu hanya akan menjadi onggokan sampah." Pelototan mata diberikan Asgard bersamaan dengan tawa lebar yang cukup mengerikan.

Di tempatnya, Marya seketika terdiam. Ia tak menyangka kalimat setajam itu akan terlontar dari bibir Asgard. Pun dengan sang pejabat desa, ia sudah mengepalkan tangan kuat-kuat, rahangnya mengetat karena ucapan pemuda yang terduduk di depannya.

"Beraninya kau?" geram lelaki itu. Ia langsung melayangkan pukulan brutal pada perut Asgard. Tak peduli bahwa pemuda itu memekik kesakitan tiap tinjunya mendarat di sana.

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang