Jika manusia memiliki masalahnya masing-masing, kenapa harus repot mengurusi masalah orang lain?
Dulunya pikiran itu sering muncul sewaktu banyak orang yang ingin tahu perihal hidupku. Menjadi putra seorang pendiri pesantren mau tak mau membuatku menjadi pusat perhatian, entah dari masyarakat sekitar ataupun para santri dan santriwati. Aku benci, jujur saja. Menjadi terlihat bukan keinginanku sama sekali.
Marah tiap kali namaku disebut, mereka terlalu ikut campur. Pada akhirnya aku memilih jalanku sendiri keluar dari rumah untuk menempuh pendidikan di tempat lain setelah wustha. Aku tidak ingin selalu dikait-kaitkan dengan Bunda dan Ayah. Begitulah aku menjalani hidup.
Santo Nicholas of Flue yang dikatakan Annagret tadi, cukup membuatku tertarik. Sarannya bahkan sampai dijadikan pijakan Swiss dalam membuat kebijakan. Jangan mencampuri urusan orang lain. Dari sana, aku sadar satu hal. Pantas saja Swiss menjadi negara yang damai dan tak pernah terlibat perang.
Ketahui porsinya, terlibatlah jika diperlukan, mundur jika tindakanmu berkemungkinan membuat kekacauan.
Titik Damai Swiss, Bern
Musafir Buta Arah.
-o0o-
Asgard menutup jurnal, lantas memasukkannya ke dalam ransel. Ah ... bawaannya memang selalu itu. Sebelum menutup ransel, ia dibuat terdiam sambil mengamati kameranya yang rusak. Lelaki itu menghela napas dan melanjutkan kegiatan. Dilihatnya Moana dan yang lain di depan sana, ia lantas beranjak dari bangku.
Setelah Caspari pamit meninggalkan mereka, kelimanya memang mengelilingi Bundeshaus bersama. Asgard yang langsung akrab dengan Arnborg, langsung menggendong anak itu di punggung saat sampai. Ia tertawa sesekali saat menanggapi celotehan random-nya. Entah hanya perasaan Asgard atau yang lain juga menyadari, anak itu sedikit ... berbeda. Sudah beberapa kali lelaki itu dibuat terkejut dengan celetukan Arnborg. Satu hal pula yang ia sadari, setiap anak itu hendak mengatakan suatu yang mengejutkan, rambutnya selalu dijambak kecil.
"Do you wanna eat ice cream, Asgard?" Dengan nada polos, Anborg bertanya sambil menjulurkan kepalanya lewat samping kepala Asgard. Ekspresi anak itu sangat lucu dengan mata membulat dan dahi berkerut.
Asgard menoleh dan menemukan wajah Arnborg yang begitu dekat dengan pipi kanannya. Seketika, ia tersenyum. Lelaki itu tahu bahwa Arnborg tengah memberi kode untuk membelikannya es krim. Sungguh menggemaskan.
Di tempatnya berdiri, Moana terkikik menyadari hal yang sama. Anak itu sangat cerdik mengungkapkan keinginannya. Sementara itu, orang tua Arnborg hanya bisa menggelengkan kepala tak habis pikir akan tingkah polah sang putra.
"I don't," jawab Asgard singkat. Ia pura-pura memasang ekspresi datar.
"Ah ... come on! Kamu harus mau, Asgard." Arnborg menunjuk Annagret dan Dario yang berada beberapa langkah di depan keduanya. "Mereka tidak mau membelikanku es krim. Kalau kamu mau, aku bisa mendapat es krimku."
Tawa Moana pecah begitu saja. Arnborg benar-benar licik ternyata. Sambil memegangi perut, perempuan itu terbahak hingga mengundang rasa penasaran orang-orang. Dario dan Annagret kali ini terseyum canggung, merasa tak enak karena Arnborg.
Setelah menurunkan anak itu, Asgard tersenyum dan berkata, "Ok, I'll buy one for you. Come on!"
Keduanya pun beranjak, menuju kedai es krim terdekat. Arnborg berjingkat sepanjang melangkahkan kaki, sementara Asgard yang ditarik tangannya, sedikit kewalahan menyamakan langkah dengan anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan sang Musafir (Completed)
SpiritualDunia terlalu luas bagi mereka yang menenggelamkan diri di sudut kamar. Namun, terlalu sayang dilewatkan bagi mereka yang suka berpetualang. Dalam perjalanannya mencari jati diri, Asgard Al Fatih menemui banyak karakter manusia. Mulai dari yang dika...