Dua

257 54 1
                                    

"Paket ...." Suara kurir lantang dengan nada yang dipanjang-panjangkan. Seiring dengan itu bunyi bel juga tak henti-hentinya beradu.

Meski semua keributan berasal dari luar, tetapi berhasil mengusik tidur siangku yang cantik. Aku yang tadinya sibuk berkelana di dunia antah-berantah terpaksa kembali ke bumi yang katanya penuh dengan durja dan sandiwara.

"Bang Sat, bukain pintu, gih!" pekikku dari kamar dengan suara sedikit serak akibat flu yang menyerang selama seminggu terakhir ini. Kebetulan kamar Bang Satria letaknya tepat di sebelah kamarku.

Ya, aku memiliki seorang Kakak laki-laki. Namanya Satria Putra Permana. Umur kami terpaut lima tahun. Bang Satria belum menikah sama seperti diriku.

Belum menikah, bukan berarti Bang Satria tidak laku. Dia memiliki pacar bernama Vania Aghani Zahra, dan aku lebih suka memanggilnya Kak Vanvan. Menurutku panggilan itu lucu, sangat cocok dengannya yang berwajah imut bak ABG belasan tahun.

Please, jangan langsung teringat dengan panggilan Vivi yang bernama asli Violina Atsari. Itu lho sahabat tapi nikung. Masih lupa? Dia yang minggu lalu tanpa sengaja bertemu di klinik. Manusia penggores kenangan buruk di masa laluku.

Sumpah, bukan aku yang menyematkan panggilan Vivi padanya, melainkan dia sendiri yang memperkenalkan diri sebagai Vivi. Dan keluarganya pun memanggilnya demikian. Aku tahu karena dua tahun lalu menghadiri undangan pernikahan terlaknat Vivi dan suaminya.

Lupain Vivi, kita kembali ke Kak Vanvan.

Jadi, Kak Vanvan itu sedang bekerja di luar kota yang kemungkinan tidak lama lagi akan pindah ke sini. Tinggal bareng lagi dengan Om Hendru dan Tante Rani. Dari kabar yang aku dapat langsung dari Bang Satria, katanya Kak Vanvan sedang mengurus surat pindah tugas. Mengenai pekerjaannya, aku tidak begitu peduli karena pada dasarnya aku menyukai Kak Vanvan menjadi Kakak iparku. Selain cantik, orangnya sangat lemah lembut, selalu bertutur halus, murah senyum. Bertolak belakang denganku yang sedikit barbar. Tetapi biar begitu, aku tidak pernah berani membantah omongan Mama dan Papa. Ya, harus kuakui kalau aku sering beradu mulut manja dengan Bang Satria sampai-sampai Mama sering membebel panjang kali lebar.

"Nggak mau, ah. Kamu manggilnya nggak etis," sahut Bang Satria juga memekik dari dalam kamarnya.

Panggilan Bang Sat adalah yang sangat dibencinya. Bagi Bang Satria itu seperti meremehkan dirinya. Tahulah kalau tulisannya digabung maka akan menimbulkan kata yang memang tidak baik artinya. Aku selalu sengaja menggunakan panggilan itu. Ingin membuatnya kesal yang sudah bisa dipastikan akan berlanjut ke adu mulut, dan berhenti jika Mama datang melerai.

"Ayolah, Bang. Aku lagi demam ini," ucapku seraya pura-pura batuk. Mana tahu dengan ber-acting begini dapat mengetuk pintu hati Bang Satria.

"Nggak bisa, Dek. Abang lagi duduk di kloset ini," balasnya.

Nasib punya kamar bersebelahan, biar di dalam toilet sekalipun sahut-menyahut tetap jalan.

Dengan malas, aku beringsut bangkit dari tempat tidur. Memaksa kompromi kepala yang sedikit pusing. Rambutku yang berantakan kuikat asal. Semoga nanti tidak ada adegan ikan terbang. Pingsan ketika kaki lunglai memijak anak tangga hingga berakhir terpental di lantai ruang tamu.

Kutelusuri satu persatu anak tangga. Menyesal sudah, kenapa dulu memilih kamar di lantai dua. Padahal ada kamar kosong di lantai bawah walau sekarang tidak kosong lagi karena telah ditempati Mbok Minah.

Yes, berhasil tanpa adegan ikan terbang. Akhirnya kaki telanjangku memijak lantai bawah.

Di sini, suara bel dan teriakan berkumandang semakin jelas di telingaku. Keduanya beradu bersahut-sahutan. Dari celah gorden, kulirik malas mas kurir yang sedang berdiri di balik pintu berpagar besi. Tangannya memegang sebuah kotak berbalut plastik hitam dengan mulut yang tidak berhenti berceloteh.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang