Sembilan Belas

175 38 2
                                    

Setibanya di kantor ekspedisi, aku bergegas mengeluarkan satu per satu paket dari bagasi mobil ke dalam troli. Sebab troli ini dapat memudahkan membawa paket-paket itu ke meja kasir. Tentunya kegiatan ini diikuti campur tangan Nerson. Omong-omong, dia terlihat sangat bersemangat memindahkan paket-paket itu.

Karena melihat Nerson yang tampak bersemangat, kubiarkan saja dia memindahkan paket-paket itu seorang diri. Hitung-hitung istirahat sejenak setelah tadi tidak berhenti bekerja di toko. Lagi pula, aku juga ingin melihat seberapa hebat Nerson cari muka di hadapan rekan kerjanya.

"Rajin amat, Pak," tegur seorang laki-laki. Berpakaian formal khas orang kantoran. Mungkin dia atasan Nerson.

"Lumayanlah, Ky," balas Nerson menolah sekilas ke arah laki-laki itu, kemudian melanjutkan pekerjaannya.

"Mau saya bantu, Pak?"

"Boleh, deh. Asal ikhlas."

"Ikhlas dong, Pak. Masa nawarin, tapi nggak ikhlas."

"Siapa tahu gitu. Kamu cuma bikin trik mengambil hati. Supaya dapat tambahan uang kerajinan."

"Wah, nggaklah, Pak. Saya ikhlas bantuin Bapak."

Laki-laki itu segera bergabung bersama Nerson. Memberi sokongan untuk mengeluarkan tumpukan paket dari dalam mobil.

Tunggu-tunggu, seperti ada yang aneh dalam adegan ini. Laki-laki itu datang kemudian menyapa Nerson dengan panggilan Pak. Sementara Nerson membalas sapaan laki-laki itu dengan menyebut namanya secara eksplisit. Selanjutnya, laki-laki menawarkan bantuan. Terus, si Nerson mengungkit uang kerajinan.

Detik ini satu tanya timbul di benakku. Sebenarnya siapa Nerson di kantor ekspedisi ini?

Kalau dia benar seorang Bos, mengapa perawakannya tidak menunjukkan ciri seorang atasan? Pakaian Nerson juga tak ada beda dengan karyawan yang lain, terlebih sikap Nerson yang semena-mena terhadap pelanggannyamaksudku; aku.

Justru yang terlihat seperti Bos adalah laki-laki asing ini. Berpakaian formal dengan gelagat penuh wibawa.

Atau mungkinkah kisah laki-laki pura-pura miskin sedang terjadi di hidupku?

Jika, ya. Kuharap itu menjadi tidak. Sebab hidupku sudah cukup dramatis sejak Raka berani berbuat curang.

"Sudah semua, Bu," tukas laki-laki itu padaku. Dari tag name-nya kuketahui bernama Kiky.

"Makasih, Mas," balasku merogoh tas bermaksud memberi uang tip.

"Eh, nggak usah, Bu. Anggap saja barusan itu sebagai tanda perkenalan saya dengan Ibu," sergah laki-laki itu seakan paham maksudku.

"Kalau begitu, saya akan sangat berhutang budi pada Mas."

"Ah, tidak juga. Bahkan saya lebih banyak berhutang budi pada Pak Nerson."

Semakin ke sini, rasa penasaran di benakku semakin membuncah. Apa motif laki-laki bernama Kiky ini memanggilku Ibu? Kenapa dia seperti sangat menghormati Nerson?

Baiklah, sebaiknya aku bertanya langsung pada yang bersangkutan. Aku tahu ini memang sangat tidak sopan.

"Mas," kataku ragu.

"Maaf, Bu. Saya harus segera ke bagian sortir. Pekerja di sana kekurangan personil," pamit Kiky secara tidak sengaja mengurung niatku.

Baiklah, untuk sementara mari kita pendam rasa penasaran ini.

Tidak ingin buang-buang waktu, aku lekas mendorong troli ke dalam gedung ekspedisi. Teringat Mama dan para karyawan sangat sibuk di toko. Jadi, kalau aku berlama-lama di sini, otomatis mereka kekurangan anggota. Pekerjaan tentu semakin lama. Orang-orang tidak akan punya waktu istirahat, dan Mama pasti sangat kelelahan.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang