Dua Belas

192 42 1
                                    

Berhubung Nerson seharian berkurung diri di rumah sambil seperti sedang memata-matai gerak-gerikku, jadilah aku mencuci sendiri sepasang kaos kaki miliknya. Padahal sudah kuambil ancang-ancang begitu Nerson keluar dari rumah, aku akan langsung mengantar kaos kaki terlaknatnya ini ke laundry. Nahas sekali, nasib tidak berpihak padaku. Namun masih sedikit beruntung, setidaknya Nerson bukanlah sosok si bau kaki. Jadi, aku tidak perlu pingsan ketika menjamah kaos kaki miliknya.

"Akhirnya," kataku lega setelah berhasil menggantung sepasang kaos kaki Nerson di jemuran.

"Itu baru sepasang." Entah sejak kapan Nerson berdiri di belakangku. Nasib baik teguran tiba-tibanya tidak membuatku terperanjat. "Besok-besok mungkin berpasang-pasang. Soalnya gue tipikal pemakai kaos kaki sekali pakai alias sepasang satu hari. Itu pun, kalau gue nggak bolak-balik rumah. Sempat gue bolak-balik rumah, berarti gue juga bakal ganti kaos kaki bolak-balik. Hitung aja semisal dalam sehari gue lima kali balik rumah, otomatis gue bakal ganti kaos kaki sebanyak lima kali."

"Lo kira gue mau jadi tukang cuci kaos kaki lo? Enggak ya. Cukup sekali ini doang."

"Terserah. Gue mah nggak muluk-muluk. Lo bertingkah, gue tinggal lapor bokap lo."

"Bokap gue pasti belain gue. Secara, mana ada orang ganti kaos kaki lima kali sehari. Lagian kerjaan lo tuh cuma nganterin barang doang. Pakai sendal karet juga nggak masalah. Nggak usah bergaya seperti bos."

"Iya, iya. Besok gue pakai sendal karet. Tapi kalau bos gue marah, elo penanggung jawabnya."

"Gue nggak ada nyuruh lo pakai sendal karet. Gue cuma ngasih usul."

"Selain awut-awutan, ternyata lo juga pecundang."

"Serah lo, deh. Gue mau masak." Tidak ingin berdebat panjang, aku memutuskan untuk mengalah.

Di dapur, aku berpikir keras hendak memasak menu apa sebagai santapan makan siang. Di hadapanku telah tersedia beberapa telur, tomat, cabai, dan bahan makanan yang lain.

"Kenapa? Bingung mau masak apa? Atau emang nggak bisa masak?" tukas Nerson meremehkan.

"Sorry, biar kata orang gue manja. Kalau sebatas berperang dengan wajan dan spatula, gue bisa."

"Oh iya. Sekarang gue tantang lo masak sesuai request-an gue."

Aku diam saja, membiarkan Nerson terus berceloteh.

"Diam berarti takut." Dia semakin menganggapku remeh. "Tenang, lo nggak perlu takut. Tantangan dari gue gampang kok. Karena kebetulan di sini ada telor, jadi gue pengen dibuatin telor balado. Gimana? Sanggup?"

"Itu doang? Gue kira lo mau request makanan luar negri."

"Pengennya sih, gitu. Tapi gue rada ragu sama kemampuan lo."

"Nggak perlu ragu. Barusan juga udahh gue jelasin, sebatas naklukin wajan sama sendok, hal kecil buat gue."

"Gue tau, lo pengen ngintip tutorial masak di youtube, kan? Nggak semudah itu, gue bakal tetap jagain lo di sini sampai lo kelar masak. Jadi nggak ada istilah nyontek TV, laptop, apa lagi hp."

"Gue nggak peduli. Mau lo jagain gue sampai gue mati sekalipun, gue nggak peduli. Gue juga nggak bakal nyontek youtube apa lagi minta resep ke elo."

"Bagus. Gue mau nyoba gimana rasanya telor balado buatan anak manja."

"Oke. Tapi kalau gue berhasil, stop nyuruh-nyuruh gue. Ya, mungkin kalau lo nyuruh gue masak, gue nggak masalah. Asal, jangan nyuruh gue nyuci kaos kaki lo lagi. Kasihan tangan mulus ini, masa harus megang deterjen cuma gegara nyuci kaos kaki lo."

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang