"Haha..." Tawa Nerson tak juga berhenti.
"Asem kamu, Son," kataku kesal. Membuka kasar pintu mobil kemudian membantingnya kuat.
Siapa tidak kesal? Sepanjang jalan pulang dari taman hingga ke rumah, Nerson tidak berhenti menertawaiku. Menurutnya aku perempuan paling bodoh karena pernah bersedia menjalin hubungan dengan laki-laki selicik Raka. Dia juga mengataiku sebagai perempuan lugu yang bego sebab mau-mau saja bersahabat dengan Vivi yang nyatanya perebut pacar orang paling handal. Lebih parah lagi, Nerson mengejekku sebagai gadis lurus hati yang lalai lantaran selalu percaya pada omongan Vivi dan raka, sampai-sampai dua manusia jahat itu berhasil melancarkan aksinya dengan cara mengelabuiku.
Padahal tadi aku sempat berpikir kalau Nerson akan menghiburku, memaki-maki Raka sebab dulu berani berbuat curang di belakangku. Tetapi nyatanya, Nerson sama sekali tidak berbuat demikian. Jangankan menghibur, menatap iba padaku pun tidak. Yang ada sudut matanya berair akibat terlalu senang mengolokku.
"Haha..." Lihat, bagaimana tawa itu terbawa hingga ke dalam rumah.
"Puas, Son?" kataku geram.
"Puas banget. Kocak tau nggak. Dulu kamu yang ngejar-ngejar si Raka. Sampai-sampai kamu nggak peduli sama omongan papa Permana yang nentang hubungan kalian. Sekarang, tau rasa kan. Makanya jadi anak jangan durhaka. Sesekali nurut apa kata orang tua."
Wah wah, si Nerson sudah berani menggurui rupanya.
Eh, tunggu-tunggu, dari mana si Nerson tahu kalau papa pernah ngelarang gue pacaran sama Raka?
"Tahu dari mana kamu, papa pernah melarangku pacaran sama Raka?" tanyaku, tak kuat memendam rasa ingin tahu.
"Udah lama kali, Cha."
"Maksud Anda?"
"Ya, lama."
"Selama mana?"
"Selama hubungan kamu sama Raka. Lagian tuh ya, nyari cowok yang bener dikit. Masa sukanya sama tukang selingkuh. Udah gitu, selingkuhnya ekstrem banget lagi."
"Kayak kamu bener aja."
"Oh iya, dong. Pasti. Aku belum pernah ninggalin anak orang, kemudian nyesel, ujung-ujungnya minta balikan. Aku juga belum pernah punya pacar tukang selingkuh."
"Iya, dah. Nerson emang paling bener sedunia."
"Emang. Harus diakui seluruh jagat raya."
Malas beradu argumen dengan Nerson, aku beringsut meninggalkan ruang tamu. Toh, tidak akan ada gunanya meladeni manusia itu. Dia akan terus menyanjung dirinya dengan tidak pernah puas menyudutkanku.
Saat ini yang paling penting kulakukan hanyalah memperbaiki mood-ku yang rusak. Mungkin memandang langit, menonton film romantis, atau malah melanjutkan hitungan untung rugi dari hasil pendapatan laundry-ku selama sebulan ini.
***
Di kamar, ternyata niatku tak menyuruh singgah ke kasur. Kakiku justru bablas melanjutkan langkah ke balkon. Maka, akhirnya pilihanku jatuh pada menatap langit. Hal yang telah lama kulupa. Entah kapan terakhir aku memandangi angkasa luas tak tergapai itu.
Langit tampak bersih. Hanya bertabur sedikit bintang tanpa bulan. Seakan dia turut melukis suasana hatiku. Apa aku sedih atas pengakuan Vivi? Tentu tidak. Aku bahkan tidak peduli atas kejadian di taman tadi. Aku hanya kepikiran akan ucapan yang terlontar dari mulutku sendiri. Pengakuan sembarang, bahwa aku memilih Nerson, aku hanya mencintai Nerson. Ditambah pula omongan Nerson, kami menikah murni didorong rasa saling mencintai.
Andai perkataan itu nyata.
Tetapi, pasti akan sangat mustahil. Nerson punya pacar, yaitu Biya. Sementara aku masih sulit membuka hati untuk kembali memercayai cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Kurir Resek (✓)
RomancePART MASIH LENGKAP Perhatian! Ini tulisan penuh plot hole. Cover: Pixbay Font Cover: Teks on Photo Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang ©TantiRH