Delapan

200 43 0
                                    

Hari ini sesuai perkataan mama, fitting. Jadilah sekarang kami berada di butik memilih model kebaya dan stelan jas yang senada. Tetapi aku tak kunjung menemukan kebaya yang dengan sesuai seleraku. Mama mengusulkan sebaiknya memakai kebaya karena merupakan salah satu ciri khas Indonesia. Ya, mamaku punya jiwa nasionalisme yang cukup kental.

"Bagaimana, Sayang?" tanya si Nerson sok romantis. Entah sejak kapan tangannya sudah bertengger di pinggangku.

"Nggak usah pegang-pegang juga, kan?" ucapku meringis, menatapnya tajam. Melepas paksa tangan Nerson dari pinggangku.

"Heh, lo pikir gue sudi naro tangan gue di pinggang cungkring lo. Sama sekali nggak sudi. Gue terpaksa ngelakuin ini gegara di sini banyak mata-mata," balasnya berbisik.

"Cih, mata-mata konon. Bilang aja lo mau ngambil kesempatan dalam kesempitan."

"Kesempatan dalam kesempitan kata lo? Heh, asal lo tau, semua pekerja di sini adalah karyawan nyokap gue. Butik ini punya nyokap gue. Jadi kalau kita nggak acting. Otomatis mereka semua curiga, terus ngadu ke nyokap gue. Please-lah, kerja sama demi nama baik nyokap gue."

Butik ini? Punya nyokapnya si gendurowo? Berarti nyokapnya si gendurowo tajir dong. Tapi kenapa anaknya milih jadi kurir?

Gue tau, si genduruwo pasti dulunya nakal di sekolah. Akibatnya sering tinggal kelas. Begitu lulus SMA, udah bangkotan. Akhirnya dia malu ngelanjutin pendidikan ke perguruan tinggi. Dasar, nggak percuma gue nyematin sebutan gendurowo buat dia. Btw si genduruwo umurnya berapa sih?

"Peduli apa sama mereka. Nyokap lo juga tau kita nikah karena terpaksa," kataku.

"Nyokap gue emang tau kita nikah terpaksa. Justru mereka yang jodohin kita. Masalahnya, karyawan di butik ini nggak tau kita nikah gara-gara dijodohin. Masih belum ngerti?"

"Whatever-lah. Gue nggak peduli," ucapku malas. Toh, pada dasarnya si Nerson memang jago acting.

Ngomong-ngomong jago acting, aku punya cerita tentang si Nerson. Jadi, tadi pagi sekitar pukul enam subuh si Nerson datang ke rumah aku. Katanya sih, selain buat jemput aku dia juga ingin pendekatan ke mama sama papa. Aku sempat bingung, si Nerson benaran tidak suka atau pura-pura tidak suka dengan perjodohan kami. Pasalnya dia kelihatan ambisi banget. Contohnya, dia menyibukkan diri membantu papa memangkas bunga pucuk merah di taman belakang, sementara aku yang anak biologisnya papa tidak pernah melakukan itu. Aku lebih baik mendekam di kamar daripada bantuin papa menata taman. Awalnya aku kagum sama ini cowok rese, eh tidak tahunya cuma acting. Dia sendiri yang bilang kalau dia memang sedang berpura-pura, membuktikan ke papa kalau dia adalah calon menantu yang baik.

"Jadi, lo pilih yang mana?" tanya Nerson.

"Apanya?" sahutku bingung.

"Kebayanya pikun. Lo kira apa?"

"Terserah. Karena pada dasarnya, gue nggak peduli sama pernikahan ini. Mau pakai baju dari goni sekalipun, gue nggak peduli."

"Seriusan? Emang lo mau pakai baju dari goni?"

"Maulah. Asal didesain sama perancang busana terkenal. Ivan Gunawan misalnya."

"Belagu. Sok ngatain desain baju. Packing barang doang, lo nggak bisa."

"Lo ngatain gue? Mau ngajak ribut?" tantangku sengit.

"Apa lo?" balas Nerson seraya membusungkan dada.

"Lo, tuh, apa. Gue nggak kenal sama lo, tapi kenapa setiap ketemu elo, bawaannya nggak pernah baik. Setiap ketemu elo, roh emosi di dalam diri gue selalu muncul tiba-tiba."

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang