Tiga Belas

200 43 0
                                    

Aku bingung antara menikah dengan manusia yang memang manusia atau manusia jelmaan genderuwo yang memang sengaja menjelma sebagai penguji kesabaran. Contohnya semalam, belanjut dari kisah membuat teh. Jadi setelah Nerson menolak teh buatanku, aku membuatkannya teh baru. Yang tentunya tidak benar-benar baru. Aku cuma pura-pura ke dapur, kemudian kembali lagi dengan teh yang sama dengan sebelumnya. Kenapa aku tidak membuatkan teh baru? Bukan karena malas, melainkan merasa sayang dengan semua komponen di cangkir putih itu. Di dalam secangkir penuh itu sudah pasti berisi gula, air panas, dan sari bubuk teh. Bayangkan jika secangkir penuh teh terbuang begitu saja, berapa rupiah uang telah terbuang.

Bukan, aku bukan tipikal gadis pelit, hanya saja aku suka berhemat. Tetapi aku tak selalu merealisasikan kata hemat untuk segala hal. Aku bisa royal dalam hal tertentu. Misalnya membelikan mama barang-barang mewah, manghadiahi diriku barang-barang bermutu tinggi, juga berbagi sesuatu dengan pekerja-pekerja di laundry, dan keroyalan untuk hal yang lain. Aku memegang penuh istilah, 'hemat itu penting, tetapi jangan sampai pelit'.

Wel, usai memberikan teh itu kepada Nerson, aku bergegas ke kamar. Di sana aku mengerjakan banyak hal. Mulai dari menghitung mutasi uang masuk dan keluar, memesan keperluan laundry di salah satu toko online langgananku, sampai kepada memeriksa olshop-nya mama.

"Astagah, mama ini. Puluhan udah order-an masuk, tapi belum diproses juga," gumamku begitu melihat keadaan olshop mama. Aku harus berkali-kali mengirim pesan balasan berupa ucapan maaf kepada customer lantaran beberapa dari mereka bolak-balik bertanya, kenapa barang pesanannya belum dikirim juga.

Kayaknya besok bakal jadi hari paling sibuk sedunia.

Baru sepertiga dari seluruh jumlah pesan yang kubalas, aku tak lagi bisa konsentrasi. Kefokusanku terganggu karena suara bising dari lantai bawah. Berselimut kesal, aku berlari ke tempat di mana kebisingan itu berasal.

"Woi, Bapak, bisa diem nggak. Ini tuh udah malem dan yang tinggal di rumah ini bukan cuma anda. Saya punya telinga, cicak-cicak juga punya telinga. Kami semua terganggu sama suara TV-nya Bapak. Saya yakin, tetangga pun bisa mendengar keributan di rumah ini," teriakku menggebu.

Sigap, Nerson menyambar remote dari meja. "Lo mau gue nonton di volume berapa?"

"Nol."

"Terus kalau gue nonton pakai volume nol, gue nggak bisa dong dengerin apa yang mereka omongin."

"Mending begitu daripada lo ngerusak ketenangan manusia sekomplek ini."

"Gue nggak mau. Rumah gue, suka-suka gue. Kalau tetangga ngerasa keganggu, siapa suruh mereka tetanggaan sama gue?"

What the hell? Gue kira ini cowok egoisnya cuma sama gue doang. Ternyata emang aslinya egois, bahkan sampai ke tetangga.

"Ya, itu terserah lho. Yang jelas gue nggak pengen denger suara-suara berisik apa lagi suara TV lo." Aku melipat kedua tangan di dada sambil menunjuk TV dengan dagu. "Kerjaan gue banyak dan perlu konsentrasi tinggi. Tapi kalau lo tetep ngeyel pengen berisik juga. Maka, jangan halangin gue semisal gue milih buat pulang ke rumah bokap. Ingat, bokap gue bukan bokap lo."

"Fine, gue nggak jadi nonton." Dengan sangat lesu, Nerson menekan tombol off.

"Good boy."

"Gue udah mutusin buat bantuin lo kerja."

"Nggak usah. Gue nggak mau jadi korban PHP lo lagi."

"Kali ini gue serius. Ayo naik, nanti tunjukin apa-apa yang perlu gue kerjain."

"Serius nggak, nih. Entar gue malah kena prank."

"Iya, serius. Atau lo emang nggak butuh bantuan?"

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang