Dua Puluh Empat

178 37 2
                                    


Mungkin begini realitasnya. Itulah mengapa setiap kisah perjodohan ditulis dengan sangat apik. Hanya memiliki dua ending, bahagia atau berpisah. Dan setelah kupikir-pikir, pernikahan karena perjodohan tidak sepenuhnya buruk. Terbukti dari pengalaman pribadiku; aku menikmati saja lika-liku pernikahan ini. Walau harus kuakui, masih banyak teka-teki tentang Nerson yang belum terpecah hingga detik sekarang.

Aku juga semakin percaya akan satu penuturan mama yang tidak pernah lekang dari ingatanku, yaitu, "Nerson laki-laki baik dan bertanggung jawab."

Ya, sepertinya begitu. Nerson tidak memiliki pacar ketika dia sadar telah menjadi suami orang. Dia juga tidak berniat menyembunyikan status pekerjaannya dariku. Dia hanya tidak akan menjelaskan apapun pabila tidak ada tanya. Seharusnya memang aku yang diwajibkan jeli, bukan malah mencurigai lebih dulu.

Apa ini tandanya aku sudah berani membuka hati lagi?

Entahlah.

Omong-omong, sejak pengakuan Biya perihal hubungannya dengan Nerson, Nerson jadi kerap menggodaku, dia berkata aku pencemburu dan protektif yang berego tinggi. Cemburu tetapi tidak mau mengakui.

"Cie... Cemburu." See, bahkan dia belum puas menggodaku.

"Maaf, ya, Pak. Aku nggak cemburu. Aku cuma berkewajiban mendengar apa yang sedang diutarakan Biya," elakku tangkas.

"Tapi kan, kamu yang mancing duluan makanya Biya cerita."

"Dih, mancing gimana? Wong Biya-nya sendiri yang mau cerita."

"Iya, itu akhirnya, tapi awalnya kamu yang mancing. Dasar pencemburu tapi gengsi."

"Enggak. Aku nggak cemburu."

"Iya, deh. Nggak cemburu, tapi jealous."

Kuhela nafas panjang, kemudian membuangnya sembarang. "Terserah dah. Pokoknya aku nggak cemburu."

Ternyata, kejadian kemarin membawa baladanya sendiri. Hatiku memang lega karena telah mendapat jawaban atas apa yang ingin kuketahui selama ini. Namun itu hanya sisi positif. Sebagai sisi negatifnya, aku menjadi bulan-bulanan Nerson.

"Cha," panggil Nerson dengan mimik wajah serius.

"Apa? Mau ngatain aku lagi?"

"Sensian amat, sih. Orang mau ngomong serius."

"Ya udah. Mau ngomong apa?"

"Sebenernya aku punya pacar."

"Biya?"

"Enggak. Pan dia sepupuku."

"Oh."

"Seriusan, Cha. Nanti aku kenalin kamu ke dia."

"Oke, atur aja waktunya."

Sedih? Sudah pasti. Aku yang tadinya memercayai Nerson sebagai laki-laki baik dan bertanggung jawab, nyatanya harus kecewa lagi. Karena memang Nerson tidak sebaik omongan mama.

Rasanya, berulang kali aku diombang-ambing oleh persepsiku sendiri. Ketika melihat Nerson berlaku lembut, aku memandangnya sebagai laki-laki istimewa. Namun, ketika dia mengaku memiliki seseorang di antara kami, pandangan itu goyah. Dia sama saja dengan laki-laki lain. Semua sama, bisanya mempermainkan hati perempuan.

"Sekalian deh, Cha. Aku mau ngasih tau, mama nyuruh kita ke rumah papa malam ini."

"Mama siapa? Mamaku atau mamamu."

"Mama kita. Emang orang tua kita beda?"

Ergh.... Aku berdecak geram. "Mama kandungku, apa mama kandungmu?"

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang