Enam Belas

210 42 4
                                    

"Lo beneran nggak cemburu?" Sungguh, aku sudah sangat bosan mendengar pertanyaan ini.

Sejak tadi, sejak Nerson kembali ke rumah, dia tidak berhenti menanyakan hal itu padaku. Tolonglah, seharusnya dia sadar siapa dia dan siapa aku. Kami menikah atas dasar perjodohan yang dasarnya tanpa cinta. Lantas, bagaimana aku bisa cemburu padanya? Lagi pula, aku sudah tidak percaya cinta. Bagiku, cinta hanyalah rasa yang perlahan hadir kemudian tumbuh dan melekat hingga pengidapnya seakan amnesia untuk suatu logika. Ketika berhasil lupa logika, perlahan pula cinta menikam, mencabik-cabik mangsanya, mengenduskan aroma penyalah janji, menggoreska luka berbekas trauma.

Selamanya, aku tidak akan percaya cinta.

"Gue nggak punya waktu buat sebuah pertanyaan konyol," kataku sinis.

"Setelah melihat gaya lo yang begini, gue bisa bikin kesimpulan kalau lo beneran cemburu," tukas Nerson sok tahu.

"Terserah! Gue bahkan nggak peduli dengan kesimpulan lo."

Malas menanggapi omongan Nerson yang pasti akan berputar di situ-situ saja. Ditambah acara televisi yang sama sekali tampak tidak menarik perhatian. Aku beringsut bangkit meninggalkan ruang tamu. Sebaiknya waktu petang ini kuhabiskan untuk menyiapkan makan malam.

Sayang sekali, tengah asyik meracik bumbu, rupanya cabai di kulkas habis. Persediaan lauk pun juga sudah tidak ada. Bagaimana bisa aku lupa kalau tadi pagi hanya memasak telor dadar dan sayur lodeh yang ala kadarnya.

Baiklah, mari kita belanja.
Tidak ingin membuang waktu, aku bergegas meninggalkan dapur seterusnya beralih ke kamar. Mengambil apa saja yang patut kugunakan untuk berbelanja. Dompet berisi beberapa lembar rupiah, tidak lupa kunci mobil.

"Cariin apa?" tegur Nerson ketika aku sibuk mencari keberadaan kertas dan pena. Maklum, aku sedikit pelupa untuk komponen pengisi kulkas. Jadi, membutuhkan alat bantu pencatat.

"Nggak ada," kataku begitu menemukan kedua benda tersebut.

"Oh. Kertas sama pulpen," tukas Nerson paham.

Aku mengangguk diikuti deheman kecil. "Lo nggak mau nitip sesuatu? Gue mau keluar bentar."

"Ke mana?"

"Supermarket. Belanja. Bahan makanan kita udah habis."

"Lo, kok, nggak bilang ke gue?" sewot Nerson.

"Emang kalau gue ngasih tahu, lo mau gitu gantiin gue belanja?"

"Ya, nggak gitu juga. Tapi, kan, duit belanja tetep harus dari gue."

"Yang kemarin masih ada sisa."

"Yakin cukup?"

"Lebih dari cukup."

"Cukup?" Ulang Nerson seperti tidak percaya dengan penuturanku.

"Iya, cukup."

"Lo kalau dikasih duit, bersih cuma buat belanja doang?"

"Ya, kan, mintanya cuma buat belanja."

"Lo nggak pengen kayak istri-istri yang lain. Yang apa-apa minta ke suaminya."

Tumben si Nerson waras. Pasti ada apa-apanya.

Bukan maksud mencurigai, tetapi serius, Nerson tampak lain detik ini. Terkesan seperti suami sungguhan, menolak lupa akan asal-usul pernikahan kami.

"Nggak usah. Duit gue masih banyak buat bikin gue foya-foya. Lagian, gue nggak mau punya hutang," tolakku.

"Hutang ke gue?"

"Iya. Karena secara nggak langsung, gue udah pakai duit lo. Buat gue, memakai artinya berhutang."

Nerson tak lagi membalas. Raut wajahnya pun tidak dapat kutebak. Mungkin senang sebab terbebas dari yang namanya kewajiban seorang suami atau mungkin sedih sebab tawarannya ditolak mentah-mentah olehku.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang