Epilog 1

210 40 1
                                    

"Lama banget sih, Son," kataku jengkel.

"Sabar ya, Cha. Paling bentar lagi juga nama kita dipanggil," balas Nerson menghibur.

Bagaimana tidak jengkel, aku yang telah tiga jam duduk di sini tak kian mendapat giliran. Padahal angka di kertas kecil berbentuk petak di tanganku tertera nomor tiga puluh lima. Belum lama pula, baru-baru ini seorang ibu paruh baya di samping kami telah mendapat giliran ke ruang periksa.

Seperti kisah paralel.

Lagi-lagi aku berdecak kesal. Jika ini mirip dengan adegan setahun silam, kenapa figura di klinik ini berbeda dengan klinik yang kudatangi waktu itu? Tidak hanya figura, alamatnya, dan semua orang di klinik ini pun tidak ada yang mirip dengan orang yang kutemui di klinik satu tahun kemarin. Atau jangan-jangan semua klinik bekerja sama untuk menguji kesabaranku.

"Viola Atmaja ...," teriak si perawat. Bahkan nama yang dikumandangkan barusan hampir sama dengan nama Vivi.

Aku melirik ke arah Nerson, perempuan berjarak dua kursi darinya bangkit kemudian berjalan menuju bilik perobatan. Ketika tepat langkahnya di hadapanku, lekas kutarik pelan tangannya. "Mbak, nomor urut keberapa?"

Dia melihatku seperti tatapan aneh, tetapi dijawab jua. "Seratus tujuh, Mbak."

What? Siapapun pasti tahu angka mana yang seharusnya lebih dulu mendapat giliran. Tiga puluh lima atau seratus tujuh.

Sudahlah, tampaknya aku harus semakin melapangkan sabar. Aku tidak akan membiarkan klinik ini berhasil menjalankan misinya. Kalau angkat kaki dari sini pun, tidak mungkin. Bisa saja namaku yang disebut selanjutnya.

"Sabar ya, Ariska."

"Iya, Son. Aku masih sabar sampai anak kita lahir."

Nerson mengacak pelan rambutku. "Ngomongmu ngelantur. Anak kita lahirnya masih lama. Masih tujuh bulan lagi."

"Ya udah, aku bakal sabar selama itu."

"Daripada menunggu giliran hingga tujuh bulan, mending kita bikin janji di awal sama dokter."

"Kenapa nggak tadi aja kamu punya ide begitu."

"Perasaan aku ngusulin, deh. Kamunya aja yang ngeyel harus ke klinik."

"Kamu ngatain aku ngeyel?"

"Iya, kan kamunya yang nggak mau diajakin ke dokter spesialis kandungan. Kamu ngeyel harus ke klinik."

"Iya iya, aku yang ngeyel. Sementara kamu nggak pernah ngeyel."

"Salah lagi," decak Nerson pelan.

Diam-diam aku tersenyum. Ada rasa puas dalam hati ketika melihat Nerson mengalah. Belakangan dia memang suka mengalah. Aku pernah bilang ke dia, aku begini gara-gara keinginan anaknya. Untung si Nerson percaya-percaya saja.

Habis membuat Nerson kesal, aku kembali pada kejenuhanku. Berharap perawat melindur. Seharusnya menyebutkan angka lain, malah menyebut angka atrean milikku.

"Duduk dulu, Yang." Telingaku menangkup suara familiar.

Segera mataku mendelik ke sumber suara. Benar saja. Di sana ada sepasang suami istri yang baru saja datang. Si suami tampak telaten memijat-mijat punggung sang istri, sedang si istri seperti tengah menahan sakit.

Meski mereka berdua adalah musuh di masa lalu, tetapi itu hanya masa lalu. Sebab aku sudah berjanji untuk memaafkan mereka. Aku bangkit dari duduk bermaksud menghampiri mereka.

"Ke mana?" Nerson lekas menarik tanganku.

"Ke situ." Kutunjuk pandang Raka dan Vivi.

Tanpa bicara lagi, Nerson ikut bangkit. Memapahku menghampiri Raka dan Vivi.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang