Tujuh Belas

180 41 1
                                    

Sejak tadi, ruang makan ini teramat hening. Hanya dentingan sendok dan piring beradu saja yang terdengar. Melirik sekilas pada manusia di hadapanku, Nerson tampak sangat menikmati makan malamnya. Hal itu terlihat dari cara dia melahap sendok demi sendok menu-menu hasil masakanku. Tidak berisik, cukup diam dan terus mengunyah. Bagus juga. Setidaknya dengan kekaleman Nerson ini aku bisa makan dengan tenang.

Selepas makan, segera aku berkemas. Menaruh piring kotor ke wastafel, mengenyemprotkan cairan pembersih pada permukaan meja, kemudian mengelapnya dengan kain kering. Nerson? Dia masih di posisi yang sama seperti saat makan tadi. Tak sedikitpun dia bergeming dari tempat duduknya. Entah kesambet dedemit jenis apa anak ini. Biasanya sehabis makan Nerson pasti langsung melongos pergi ke ruang tamu, memutar film kesukaannya dengan volume paling keras. Saking kerasnya sampai-sampai mengalahkan sound di bioskop.

Ketika aku hendak melangkah meninggalkan meja makan, Nerson bersuara. "Cha, lo mau cuci piring, kan?" tanyanya lebih ke basa-basi.

"Yang lo lihat?" balasku setengah jengkel. Sudah lihat piring kotor di tanganku. Maka sangat mustahil dia tidak tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya.

"Nggak tau. Makanya gue nanya."

"Ya, gue mau cuci piring."

"Gue bantuin?" Perkataan ini lumayan ambigu, antara menawarkan bantuan atau mengolok.

"Maksud lo?" tanyaku geram. Siapa tahu Nerson memang sengaja mengolokku.

"Maksud gue, lo mau gue bantuin nggak?"

"Emang lo mau bantuin gue?"

"Kalau gue nggak mau, ngapain nawarin."

Tak ingin lengah, sigap lenganku terangkat. Kutaruh punggung tangan di kening Nerson. Aku harus memastikan bahwa dia baik-baik saja.

"Apaan, sih, lo," sewotnya menghempas pelan tanganku.

"Cuma mau mastiin kalau lo masih waras."

"Sembarangan. Gue waras, ya. Gue sadar sama apa yang gue omongin barusan."

"Iya, gue tau lo sadar."

"Terus ngapain lo naruh-naruh tangan di dahi gue?"

"Yakinin diri gue kalau taraf kesadaran lo emang sesuai hati atau malah di bawah kendali jin baik. Secara nih, lo nggak pernah-pernah mau bantuin gue cuci piring. Jangankan cuci piring, nutup jendela aja lo nggak mau."

Kejadian ini terjadi tiga hari yang lalu. Kebetulan aku sibuk memasak di dapur, sementara Nerson duduk bersantai di ruang tamu memantau 'bioskopnya'. Ketika itu di luar sedang hujan lebat diikuti petir berkilat-kilat. Dikarenakan kilatan petir yang sangat menakutkan, tepatnya aku takut cahaya petir menyambar televisi atau benda elektronik lain di rumah ini. Jadilah aku berteriak meminta tolong pada Nerson supaya menarik gorden penutup jendela. Tetapi, apa yang dia lakukan? Bukan menutup jendela, melainkan mendatangiku ke dapur kemudian berkata, "Kalau lo takut, kenapa nggak tutup sendiri aja? Telapak tangan gue terlalu berharga buat megang-megang kain modelan gorden. Lagian nih ya, rumah gue elite. Ada anti petirnya. Jadi, nggak usah drama sok takut petir."

Sumpah, andai saat itu aku amnesia bahwa Nerson adalah suamiku, sudah kugeprak habis wajahnya biar mirip ayam geprak sekalian. Untungnya, aku masih sangat-sangat sadar akan siapa Nerson. Pada akhirnya akulah yang mengalah. Mematikan kompor, meninggalkan masakanku. Menutup sendiri jendela. Bukan masalah katro mengenai penangkal petir. Aku hanya sedang waspada. Apa itu salah?

"Harusnya lo seneng, dong, gue berubah baik. Ini malah dicurigain. Udah gitu, dituduh kemasukan jin lagi."

"Kan gue ngomongnya siapa tau. Artinya gue jaga-jaga. Entar kalau lo beneran kesambet jin, pasti ribet urusannya. Gue harus cari pengusir jin di mana coba."

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang