Dua Puluh Tiga

167 40 0
                                    

Bermula dari Nerson jujur perihal pekerjaannya padaku; maksudnya aku yang memberanikan diri bertanya pada Nerson hingga dia memberitahu jabatannya di kantor ekspedisi langganan toko online-nya mama. Nerson menjadi kerap kali datang membantu pekerjaan di toko. Padahal, sudah kuperingati, tidak baik seorang bos keluyuran sesuka hati. Apa lagi hanya untuk menolong pekerjaan orang lain, dan meninggalkan usahanya sendiri.

"Balik kamu, Son. Entar karyawanmu pada niru, lho," kataku untuk yang kesekian kali.

"Enggak bakal. Secara semua karyawanku loyal. Mereka nggak level makan gaji buta."

"Kan itu kelihatannya. Kita nggak tau isi hati orang."

"Cie... Ngomongin isi hati. Emang isi hati kamu ke aku gimana?"

Kutoyor pelan lengannya. "Ngawur, Pak."

"Nggak ngawur, kok. Aku seriusan pengen tahu isi hati kamu."

Aku berdecak malas. Tak berniat lagi membalas omongan Nerson. Mengurusi isi laptop di hadapanku jauh lebih baik dibanding harus melayani pembicaraan absurdnya. Forever, Nerson tidak akan pernah tidak menyebalkan.

Huh, tetapi tampaknya tidak ada yang terlihat lebih baik. Isi di laptop ini sangat mampu membuatku pusing. Betapa banyaknya pesan masuk dari pelanggan yang harus segera dibalas, belum lagi pengonfirmasian bahwa beberapa barang sedang dalam proses pengiriman.

"Mumet, ya," tukas Nerson bersama secangkir kopi di tangannya. Entah sejak kapan kopi itu dibuat.

"Lumayan. Kerjaan banyak nggak kelar-kelar."

"Jalan-jalan, yuk!"

"Hah? Kamu bilang apa? Jalan-jalan? Kerjaan banyak begini, dan kamu dengan gampangnya ngajak jalan-jalan," kataku tak habis pikir.

Nerson langsung cengengesan, menggaruk tengkuk tak gatal. "Becanda kali, Cha," kekehnya. "Cepet sebutin apa yang bisa aku bantuin."

"Beneran, ikhlas?"

"Ikhlas, Sayang."

"Sayang-sayang, palamu peang."

"Nggak peang, kok. Bagus kepalaku."

Kutatap jengkel Nerson. "Oke, kalau gitu kamu bantuin masukin paket ke mobil. Soalnya harus segera diantar ke ekspedisi."

"Siap, Sayang. Tapi, nganternya berdua, kan?"

"Serah, dah. Tenaga sukarela mah, suka-suka aja."

"Sip." Nerson mengancungkan jempol, kemudian beranjak menghampiri tumpukan paket.

Tanpa sadar, aku tersenyum tipis diikuti geleng-geleng kepala. Merasa lucu dengan tingkah Nerson. Persis anak kecil dikasih permen.

Aku sendiri bingung pada diriku. Semakin ke sini, semakin aku merasa nyaman bersama Nerson. Tetapi, ketika aku sadar dengan semua kenyataan yang ada, selekas saja aku harus bisa menyingkirkan rasa nyaman itu.

***

"Saya bantuin, Pak." Kiky sigap datang menghampiri begitu mendapati Nerson sibuk memindahkan paket dari bagasi mobil ke troli.

"Boleh, deh, Ky. Asal, jangan minta kenaikan gaji. Soalnya saya lagi fokus nabung duit buat lahiran istri saya," gurau Nerson yang langsung mendapat tatapan tajam dariku.

"Wah, selamat ya, Pak. Sebentar lagi akan jadi orang tua," balas Kiky mengangkat tangan bermaksud menjabat tangan Nerson.

"Jangan percaya, Mas. Nerson orangnya suka becanda," kataku cepat.

"Lha, jadi nggak bener toh?"

"Nggak bener itu. Maklum, Pak Nerson kalian ini kan suka ngasal."

"Yo wes-lah. Tapi saya tetep doa, semoga Bapak dan Ibu segera dikasih momongan."

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang