Delapan Belas

194 41 1
                                    

"Acha, seperti biasa," tutur Mama seraya menunjuk pandang tumpukan benda di dalam troli.

"Siap, Ma," kataku mantap. Sudah tidak asing dengan apa yang Mama maksud. Apa lagi jika bukan tumpukan paket yang siap diantar ke ekspedisi.

Beberapa minggu belakangan ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di toko Mama ketimbang membantu karyawan di laundry. Sebab pesanan yang masuk di aplikasi sedang melunjak secara drastis. Sampai-sampai semua orang di toko hampir tidak kebagian waktu istirahat. Memang tidak banyak yang bisa kulakukan. Aku selalu kalah dengan urusan bungkus-membungkus. Alhasil yang bisa kutangani hanyalah pekerjaan adminstrasi. Itu pun tetap punya kesulitan tersendiri. Salah satunya menahan diri agar jari-jemariku tidak sampai menekan huruf-huruf pencipta kalimat yang terkesan marah tatkala ada pelanggan resek seakan sengaja menguji kesabaran.

Lekas aku bangkit dari posisi duduk, selanjutnya melangkah menghampiri troli berisi tumpukan paket. Terlalu banyak pesanan yang harus diantar hari ini. Aku tidak yakin bisa melakukannya sendiri. Bila meminta pertolongan karyawan lain pun, rasanya tidak mungkin. Mereka saja sibuk tidak ketulungan. Tidak satu orang pun terlihat santai. Baiklah, meski merasa tidak sanggup, tidak ada salahnya mencoba.

"Acha, gimana hubunganmu dengan Nak Nerson? Apa sudah ada kemajuan?" kepo Mama di tengah kesibukan kami memindahkan barang dari troli ke mobil.

"Lumayan, Ma. Emang belum signifikan, tapi bisa dibilang sudah lebih baik," kataku.

"Syukurlah. Mama bilang juga apa. Menikah lantaran perjodohan itu nggak selamanya buruk. Mama yakin Nerson suami yang bertanggung jawab."

"Kita tengok dululah, Ma. Intinya jangan langsung menilai baik seseorang. Takutnya malah nggak ada bedanya sama Raka."

Mama menggeleng diikuti senyum. "Nggak. Nerson itu bukan Raka. Mama percaya dalam diri Nerson sedikitpun tidak ada jiwa Raka," ucap Mama yakin." Atau jangan-jangan, kamu yang sampai hari ini masih belum sembuh dari trauma, makanya menuduh semua laki-laki sama?"

"Mama mengenaliku dengan sangat baik," jawabku singkat. Kalimat ini sudah cukup menjelaskan bagaimana keadaanku.

Perbincangan kami berhenti di situ. Karena selanjutnya, Mama tidak lagi mengatakan apa-apa. Kami hanya terus fokus memasukkan satu per satu barang hingga semua berhasil berpindah ke mobil.

"Kamu bisa tanganin ini semua, kan?" tanya Mama memastikan. Sepertinya beliau juga sedikit tidak yakin mengingat betapa banyaknya tumpukan paket di kendaraan roda empatku. Dan barang-barang ini sudah tentu harus diantar ke ekspedisi yang berbeda-beda dengan jarak yang terbilang jauh pula. Lagi-lagi, tetap saja. Di antara semua ekspedisi itu, rata-rata pembeli lebih banyak mempercayakan pesanan mereka menggunakan jasa ekspedisi tempat Nerson bekerja.

"Bisa dong, Ma. Percayakan semua pada anak tercantik Mama," ucapku penuh semangat.

"Mama percaya kamu bisa. Tadinya Mama pengen bantuin. Cuma kamu tahu sendiri gimana banyaknya barang yang harus dibungkus."

"Nggak apa-apa, Ma. Mama tenang aja. Semua ini pasti aman sentosa di bawah kendali Acha."

Mama menarik tubuhku ke dekapannya. Didaratkan sebuah kecup di pipi kananku. "Makasih, Sayang. Maafin Mama yang selalu ngerepotin kamu, bahkan setelah kamu nikah. Harusnya hidupmu cukup buat dirimu dan keluargamu. Tetapi, apa? Sampai sekarang Mama masih mengaturmu dengan sesuka hati. Seakan kamu adalah anak gadis Mama yang belum menikah."

"Ah, Mama, bisa-bisanya bikin Acha mewek. Nggak apa-apa, kok, Ma. Namanya anak, selagi mampu, ya wajib bantuin orang tua."

"Tapi, Sayang. Ini beda"

"Udahlah. Kalau Mama kayak gini, mending Acha minta cerai aja ke Nerson biar selamanya bebas bantuin Mama."

"Lho, kok kamu gitu ngomongnya."

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang