Lima Belas

206 43 6
                                    

Dua bulan menikah dengan Nerson bukanlah hal yang buruk, tetapi tidak juga dapat dikatakan baik. Sebab tetap saja menikah dengannya adalah nyata yang tidak pernah hadir di anganku. Mungkin jika Nerson merupakan laki-laki yang tidak menyebalkan, tidak iseng, dan tidak bossy, pernikahan ini hampir masuk ke dalam kategori sempurna.

Iya, kategori sempurna. Istri yang bebas bekerja tanpa pembatasan gerak dari suaminya. Begitu pun sang suami, bebas melakukan semua yang dia ingini tanpa dibarengi curiga dari si istri. Keduanya sama-sama menguntungkan tanpa ada maksud mengurusi hal masing-masing. Berbeda dengan seandainya aku menikah dengan laki-laki yang kucintai, bisa saja aku bersifat sedikit posesif. Namun berhubung laki-lakinya adalah Nerson, maka sifat posesif akan sangat mustahil berlaku.

"Cha, hari ini lo mau kemana?" tanya Nerson seraya merapikan tatanan rambutnya di depan cermin.

Sejak kapan ini orang ada di kamar gue?

"Ngapain lo ke kamar gue?" gertakku tak suka dengan sikap Nerson yang seenak jidat memijakkan kaki di ruang privasiku.

"Hari ini lo mau kemana?" ulang Nerson tidak mengindahkan gertakanku.

"Kayak biasa. Ke laundry dulu terus ke tokonya mama. Emang kenapa?" Akhirnya kujawab juga. Digertak pun percuma. Nerson pasti lebih pandai mengalihkan pembicaraan.

"Nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa tapi nanya. Dasar aneh."

Tidak peduli dengan kesibukan Nerson, aku terus memasukkan pakaian kotor ke dalam plastik untuk nanti dicuci di laundry. Pakaian kotor ini sudah termasuk pakaian Nerson. Tadi subuh aku mengambil dari keranjang pakaian miliknya yang memang diperuntutkan untuk pakaian kotor.

"Eh, nggak deng. Gue nggak jadi nggak kenapa-kenapa. Karena sekarang gue udah jadi kenapa-kenapa," ucap Nerson lagi menyambung obrolan kami barusan.

"Lo tuh manusia tersedeng sedunia." Masih baik pakaian kotor ini tidak melayang ke wajahnya. Kalau sampai, pastilah Nerson mengadu ke mama.

Nasib punya suami tukang lapor.

"Kalau gue sedeng, berarti lo juga sedeng dong. Seperti pepatah, jodoh cerminan diri. Manusia sedeng tentulah berjodoh dengan manusia sedeng."

"Serah lo, dah," kataku tak ingin berdebat.

"Jadi, sehabis dari toko mama, lo nggak kemana-mana lagi?"

"Belum planning. Kerjaan di toko mama aja belum tentu bisa kelar cepat."

"Siapa tau gitu lo pengen mejeng ke tempat kerja gue."

"Ngapain? Pamer status kalau gue istri lo?"

"Nah, itu juga boleh."

"Nggak banget."

"Nggak pun, lo bisa kenalan sama pacar gue. Calon madu lo."

"Nggak level. Satu lagi, sebelum lo ada niatan nikah sama itu cewek, ceraiin gue dulu."

"Kalau gue nggak mau? Kalau gue maunya kalian berdua?"

"Gue bakal maksa sampe lo mau ceraiin gue."

"Apa hak lo maksain gue. Bukannya perceraian ada karena persetujuan dari kedua belah pihak?"

Seperti halnya dua bulan lalu. Nerson tetaplah si cowok iseng yang menyebalkan. Manusia satu ini benar-benar berhasil menguji kesabaranku. Beruntung stok sabar di hati ini tersisa dengan sangat banyak. Alhasil, barang-barang di kamar masih aman alias belum hancur terkapar oleh rasa kesalku.

"Sabar, Acha. Jangan sampai sepotong kaos di tanganmu mendarat mengenaskan di wajah Nerson," batinku sekuat tenaga mengontrol amarah.

Usai memasukkan baju-baju kotor ke dalam plastik, aku membawanya turun ke bawah, membiarkan Nerson sendirian di kamarku. Biarlah, terserah padanya ingin berbuat apa di sana. Toh, tidak ada barang yang terlampau berharga di ruang privasiku itu.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang