Empat

240 44 1
                                    

"Acha ... bangun," teriak Mama dari lantai bawah.

"Iya, Ma. Bentar," sahutku balik berteriak.

"Cepetan, Sayang. Ada Nak Vanvan, nih."

Kak Vanvan... Aku mencoba mencerna omongan Mama. Setelah kesadaranku terkumpul penuh, barulah aku mengerti akan maksud Mama.

"Yey, Kak Vanvan," pekikku girang.

Akhirnya setelah lebih setengah tahun tidak berjumpa, hari ini aku bertemu Kak Vanvan lagi. Dengan semangat empat lima, segera aku beringsut bangun kemudian sambil mencak-mencak nyelong masuk ke toilet.

Selesai mandi, tergopoh-gopoh setengah berlari aku menuruni anak tangga. Begitu melihat siapa sosok di ruang tamu, aku berteriak histeris, "Kak Vavan..." Seraya membuka lebar kedua tanganku.

"Hai, Acha. Kangen banget," ucap Kak Vanvan tenang sembari membalas pelukanku. Tuh, apa aku bilang, Kak Vanvan itu orangnya kalem. Buktinya, aku heboh tapi tetap dibalas santai sama dia.

"Sumpah, Kakak makin cantik. Cantik banget. Yakin deh, Bang Satria pasti makin pangling," ucapku jujur.

"Bisa aja. Kamu juga makin cantik, makin dewasa juga."

"Ha... Terharu. Pengen nangis, nih."

"Kok, nangis? Baru juga dibilang dewasa."

"Kakak mujinya hiper. Alhasil Acha baper akut," rengekku manja.

"Uluh-uluh ... adikku yang comel. Ngomong-ngomong, gimana bisnis? Lancar?"

"Kalau dinamain bisnis, kayaknya belum cocok deh, Kak. Kalau dibilang lancar, sejauh ini cukup punya kemajuan."

"Keren, dong. Wah, nampaknya Kakak bisa nganterin pakaian Kakak ke sana. Tapi, Kakak maunya free, gimana tuh?"

"Boleh banget, Kak. Mau gratis selamanya juga nggak masalah."

"Duh, baik banget. Oh iya, Bang Satria mana?"

"Tadi, Acha tengok di kamar. Nggak tau sekarang. Emang, Kakak belum ngabarin Bang Satria?"

"Udah, sih. Cuma belum bilang udah nyampe."

"Bang Satria, nggak tau kita heboh di sini. Artinya, Bang satria nggak di kamar alias keluar. Gimana, kalau kita samperin Bang Satria-nya langsung?"

"Acha tau Bang Satria di mana?"

"Itu mah, nggak usah ditebak. Paling lagi sibuk patroli di kafe. Yuk, Kak, kita samperin."

"Kita pergi. Yang nemenin Tante, siapa?"

"Udah, Kak, biarin aja. Biasanya juga Mama sendiri di rumah. Eh, nggak deng, maksudnya berdua bareng Mbok Minah."

Haduh, ngapa gue makin hari makin geblek.

"Oh gitu, oke deh. Kita samperin Satria."

Setelah mendapat persetujuan dari yang bersangkutan, aku langsung minta izin ke mama. "Ma, Acha sama Kak Vanvan keluar ya, mau cari angin sekaligus pacar. Tapi pacarnya buat Acha doang. Soalnya Kak Vanvan udah punya Bang Satria," ucapku, seperti biasa selalu memekik.

"Siap, Sayang. Jangan lupa nyarinya yang banyak biar nanti bisa diseleksi dulu sebelum dikenalin ke Papa," sahut Mama dari kamarnya, dan tentunya berteriak.

Ya, begitulah hubunganku dan Mama. Panggilannya doang pakai Mama, tapi komunikasinya berasa anak remaja dengan sahabatnya. Eits, walau begitu, aku tetap menghormati Mama sebagai orang tuaku. Seru, kan?

Setibanya di kafe milik Bang Satria, aku menarik Kak Vanvan untuk duduk di meja pilihanku. Di sana tertanda nomor dua. Meja ini merupakan tempat tongkronganku setiap kali berkunjung ke sini. Bukan tanpa alasan kenapa aku menyukai meja ini. Mungkin di kebanyakan orang alasanku cukup lebay, namun bagiku ini amat membuatku bangga. Yap, karena nomor meja ini memiliki petanda nomor dua. Sesuai urutanku di keluarga, anak kedua, lahir pada dua Februari.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang