Dua Puluh Satu

166 36 2
                                    

Malam Minggu. Kata orang malamnya penikmat malam, atau sederhananya malam yang dibenci oleh para insan penganut hidup menyendiri alias jomlo. Padahal nyatanya, malam Minggu tidaklah seculas itu. Contohnya aku, malam apa saja semua tak ada beda. Bahkan sekalipun dulu, saat masih menjalin hubungan dengan Raka. Nothing special night.

Lihatlah bagaimana aku menghabiskan malam ini dengan kalkulator, ratusan faktur, tumpukan buku double folio, dan sebuah laptop. Menghitung segala mutasi uang masuk dan keluar, memprediksi untung rugi sebulan ini.

"Acha." Kepala seseorang menyembul dari balik pintu ketika aku hanyut bersama hitungan angka.

"Kenapa, Son?" sahutku tanpa beralih pandang dari laptop.

"Kencan, yuk!" ucapnya.

Segera aku mendongak. "Kamu bilang apa?" tanyaku memastikan kalau telingaku tidak sedang berhalusinasi.

"Kencan."

"Kencan kayak orang pacaran?"

"Enggaklah. Kita kencan sebagai pasangan menikah."

"Serius nggak, nih?"

"Elah, Cha. Kalau nggak serius, ngapain aku ngajakin."

"Kali aja gitu, kamu lagi ngigau. Terus ngira aku ini Biya."

"Semisal aku ngigau, terus ngira kamu Biya, kenapa aku malah manggil nama kamu?"

Ah, iya. Orang mengigau tidak mungkin menyebut nama dan orangnya dengan tepat.

"Oke. Jam berapa?" tanyaku sedikit antusias.

"Eh, nggak nolak?"

"Nggak dong. Kan dibayarin."

"Kerjaanmu?"

"Hari besok kan masih ada."

"Beneran nggak apa-apa? Entar ngaret, kamu nyalahin aku lagi."

"Kalau ngaret, ada kamu yang bantuin."

Tangan Nerson terangkat, ibu jari dan jari telunjuknya menjepit lembut ujung hidungku. "Mulai pintar ya," ucapnya.

"Eh," interjeksiku. Entah Nerson sadar atau tidak melakukan aksinya, tetapi jantungku sedikit membuncah. Sebab tidak pernah ada orang yang melakukan hal demikian padaku.

***

Akhirnya, setelah puas mencari-cari tempat yang cocok, tentunya harus mengikut selera masing-masing. Kami memutuskan untuk menghabiskan malam singkat ini di tepian kota. Bukan menikmati bakso, bukan pula menghanyutkan diri bersama film di bioskop, melainkan mengecapi malam di taman kota.

Sebenarnya aku sudah sering kemari. Seringnya jadi patner pengawas dalam kencan kak Vanvan dan bang Satria. Berkali-kali ke tempat ini, berkali-kali aku jatuh cinta. Sungguh pandai perancangnya, meletakkan segala hal di taman ini tepat pada porsinya.

Tengah asyik merenung, tiba-tiba aku kepikiran akan sesuatu. Adegan memindahkan barang dari bagasi mobil ke troli pada kemarin lusa. Tepatnya, di kantor ekspedisi.

"Son---" Suaraku terpaksa tercegat di tenggorokan. Sebab Nerson lebih tangkas mendului.

"Cha, coba kamu tengok bintang di sana. Cantik banget, ya, tapi rada nyebelin," tukas Nerson menunjuk sebarang angkasa.

Kuikuti arah telunjuk Nerson. "Bintang yang mana?" tanyaku bingung. Ada banyak bintang di sana.

"Itu lho." Lagi-lagi Nerson menunjuk sebarang pada langit. Kali ini justru dengan gerakan memutar.

"Mana, orang kamu nunjuknya muter-muter."

"Sabar dulu, aku masih harus mencari letak bintang paling cantik." Nerson terus memutar-mutar telunjuknya.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang