Sembilan

182 41 1
                                    

Ternyata kemarin itu mama tidak benar-benar marah. Malah hari ini dia heboh menyuruh aku dan Nerson melakukan foto prewedding. Katanya buat pajangan di kertas undangan. Sementara aku sadar tidak mungkin mampu melawan permintaan mama, hanya mau-mau saja.

Dengan sangat terpaksa, aku harus meridakan tangan Nerson menjamah pinggangku. Andai mamaku tidak seribet ini, tubuh anak gadisnya tidak mungkin digerayangi genduruwo.

"Senyum!" perintah si photographer.

Mendengus kasar, aku memamerkan senyum paksa. Kutatap wajah Nerson dengan tatapan tak suka.

"Yang ikhlas, bego," bisik Nerson, menggertakkan gigi.

"Bodo," ucapku sinis.

"Aduh, ini berdua kok pada diskusi. Ayo, fokus," tutur si photographer lagi.

Sesuai perintah si photoghapher, aku kembali tersenyum lebar. Saking lebarnya senyumku, hingga mampu mengalahkan lebarnya kepala plontos si juru foto. Aku jadi sangsi sama hasil bidikannya.

"Aduh, ini si cantik kok senyumnya lebay banget. Hei, cantik, senyumnya biasa aja," komentar si juru foto lagi.

Perasaan senyum gue lebar, ngapa si plotos ngomong lebay.

"Selain berantakan dan durhaka, ternyata lo orangnya nggak ngerti bahasa." Sekarang gantian, Nerson yang menceramahiku.

"Diem, nggak usah sewot. Diri, diri gue. Artinya suka-suka gue dong."

"Ngeyel. Atau lo emang pengen kita lebih lama di posisi ini?" Nerson mengeratkan pelukannya. Sebab tidak ada persiapan, otomatis tubuhku ikut maju. Alhasil tatapan kami bertemu. Saat itu pula, blitz kamera berkedip ke arah kami.

"Nggak nyangka, kalian punya naluri hebat. Tadi saya sudah capek kasih aba-aba supaya senyum. Eh, nggak taunya, emang mau bikin gaya bebas tanpa harus diperintah. Lihat, pose kalian di gambar ini sangat romantis," celoteh si juru foto. "Tatap-menatap penuh cinta," tambahnya.

Plastik, please. Gue pengen muntah. Gila aja gue natap tuh gendurowo pakai tatapan cinta. Ih, najonglah.

"Dengerin, Yang. Tatap menatap penuh cinta," ulang Nerson menirukan gaya bicara si juru foto.

"Lepas. Yang Yeng Yung, pala lu peyang." Kuhempas tangan Nerson dari pinggangku. Seterusnya pergi ke toilet. Eits, bukan mau muntah, tapi mau ganti baju. Gaun mewah ini membuatku kegerahan.

"Yang, nggak pengen dibantuin nurunin ritsletingnya? Kan banyak tuh kasus di novel-novel, istri kesusahan nurunin ritsleting gaun," teriak Nerson.

"Diem, lo."

Dikira gue cewek di novel apa. Lagian gue belum jadi istri dia.

Selesai berganti pakaian, aku kembali bergabung dengan mama dan papa, tentunya bareng bokap nyokapnya si Nerson, plus si Nerson. Bang Satria? Seperti biasa, kalau tidak mendekam di kamar, ya di kafe.

Kami duduk di sebuah meja, masih berada di area pemotretan. Semua anggota keluarga heboh melihat hasil bidikan si juru foto. Ya, meski belum dicetak, kami sudah bisa melihat hasil gambarnya di smartphone milik Nerson. Tadi dia minta dikirimi salinan, katanya mau dijadikan walpaper di semua aku sosmednya. Sedangkan aku? Punya. Itu pun karena barusan dikirimi oleh si genduruwo melalui Whatsapp.

"Astagah, dosa nggak sih Mama nengok ginian," tukas mama lebay sengaja menggodaku. Di gambar itu Nerson tengah memeluk erat pinggangku, sementara mataku seakan menatapnya lekat. Lebih parah, bibir kami hampir bersentuhan.

Hedeh, itu si plontos kenapa gercep banget. Padahal posisi ini cuma terjadi beberapa detik.

Puas melihat foto-fotoku dan Nerson, tidak lupa mengomentari seluruh seluk-beluknya. Keluargaku kami mutusin buat makan siang. Sebenarnya jika mengikutkan jam, ini lebih cocok disebut makan sore. Tapi masalahnya, tidak ada istilah makan sore di bahasa Inggris. Jadi, biar makannya di sore hari, asal belum kena pukul tujuh belas, maka sebutannya tetaplah makan siang.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang