Dua Puluh Enam

173 36 0
                                    

Dua hari di rumah mertua sangat cukup merubahku jadi sosok pemalas. Bagaimana tidak, mertua melarangku melakukan pekerjaan apapun, barang hanya mencuci sebiji sendok. Katanya, salah satu kunci supaya cepat hamil adalah dengan berhenti mengerjakan pekerjaan berat. Mertuaku benar, namun sedikit lebay. Mungkin saja tubuh lelah bisa menjadi pemicu kesulitan memiliki anak, tetapi bukan berarti tidak melakukan apa-apa.

Bukan niat mengatai mertuaku berlebihan. Terus terang, aku sangat bersyukur memiliki mertua seperti Mama Hana. Beliau baik dan pengertian. Hanya saja, aku bukan tipikal orang tahan diam, terlebih ketika mendapati Bi Darmi sibuk berperang dengan peralatan masak, saat itu kakiku langsung gatal ingin segera berlari menghampiri, tetapi lagi-lagi Mama menghalang. "Kamu di kamar aja temenin Nerson. Biar urusan dapur, Bi Darmi sama Mama yang selesaiin." Alhasil, aku tidak bisa berbuat apapun selain menuruti.

"Kita pulang, ya, Ma," pamit Nerson seraya menjabat tangan mama.

"Iya, hati-hati. Bawa mobilnya slowly aja. Nggak usah ngebut. Kasihan menantu Mama pasti kaget," balas Mama.

"Iya, Ma. Perasaan anak kandung Mama aku deh, bukan Acha." Nerson memasang wajah pura-pura jengkel.

"Kamu emang anak kandung Mama, tapi yang jadi menantu Mama, kan, bukan kamu."

Aku tertawa kecil menyaksikan perdebatan manja Nerson dan Mama Mertua. Seketika terbayang gambaran seperti ini di masa depan. Di mana aku dan anak laki-lakiku nanti akan berdebat mesra, cemburu karena aku lebih mengkhawatirkan istrinya dibanding dia.

Khayalanku memang terlalu jauh. Jangankan berdebat manja dengan anak laki-lakiku yang telah menikah, tanda-tanda kehadirannya saja belum ada.

Selesai berpamitan pada Mama Mertua, kami beranjak pulang. Kenapa hanya Mama Mertua? Itu karena tadi pagi Papa Mertuaku sudah berangkat ke kantor. Sebenarnya, tadi pagi Nerson juga sudah ke ekspedisi. Cuma barusan dia pulang khusus untuk menjemputku.

"Cha," panggil Nerson di tengah kekalutan kami memandangi lampu merah yang tak kunjung berpindah ke lampu hijau.

"Kenapa, Son," sahutku tanpa mengalih pandang dari jalanan.

"Nggak ada."

"Heh?!" Ekor mataku melirik kesal padanya. "Manggil-manggil, tapi nggak pengen ngomong."

"Sengaja. Kangen soalnya."

Tak jual mahal lagi, aku sigap menoleh. "Halo, Pak---"

Nerson berdesis sambil menaruh jari telunjuk di bibir. "Jangan berisik, lampu hijau udah nyala. So, sekarang waktunya nyetir, bukan debat."

"Dasar," decakku melipat kedua tangan di dada, membuang pandang ke luar jendela.

Kupikir setelah mengaku mencintaiku, Nerson akan berubah menjadi sosok yang lembut. Memperlakukanku dengan sangat romantis, seromantis pangeran pada putri dalam dongeng. Tetapi nyatanya, jangan bermimpi. Manusia menyebalkan, selamanya tetaplah menyebalkan.

Di rumah, aku terus masuk ke kamar tanpa sedikitpun ingin berbicara dengan Nerson. Bukan karena kesalku masih belanjut, melainkan mencari buku berisi catatan overtime para karyawan laundry. Hampir saja aku lupa bahwa hari ini merupakan jatah gajian mereka.

"Cha." Nerson menegur dari ambang pintu.

"Kenapa, Son?" sahutku tanpa mengalih fokus dari benda di hadapanku.

"Bisa ngomong sebentar?"

"Bisa." Kupalingkan kepala ke arahnya. "Mau ngomong apa?"

"Eh, nggak apa-apa, Cha. Selesaiin kerjaanmu dulu."

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang