Dua Puluh Delapan

214 43 3
                                    

Tidak pernah puas aku memandang takjub gedung ini. Semua dekorasinya teramat estetis dan proporsional. Jika tangan kreatif di balik seluruh keindahan ini masih berada di sini, aku ingin mengucapkan banyak terima kasih padanya. Tetapi, aku juga tak luput kagum pada Kak Vanvan yang memilih semuanya dengan sangat sempurna. Bagaimanapun, semua suasana ini adalah berkat rancangannya.

Enak, ya, mereka yang menikah karena cinta. Bebas merancang pernikahan seturut mimpinya. Tidak seperti aku, semua serba diatur orang tua. Ralat. Maksudku, dulu bukan Mama dan Mama Mertua yang tidak memberiku kebebasan untuk merancang pernikahan sesuai keinginanku. Namun, aku yang memang waktu itu belum bersedia menikah, ditambah pula karena background perjodohan, membuatku masa bodoh mengenai segala hal yang berhubungan dengan pernikahan.

"Hati-hati lho, Cha. Entar gegara kelewat kagum, bola mata kamu keluar," celetuk Nerson menyadari tingkahku.

"Biarin," kataku cuek.

"Kalau dibiarin, kita mau cari gantinya di mana?"

Aku mengedik. Tak kugubris lagi omongan Nerson. Yang aku tahu, aku kagum. Itu saja. Dan tidak ada yang boleh menghentikan kekaguman ini. Walau Nerson sekalipun.

Terus kuedarkan pandang ke seluruh penjuru gedung. Kini mataku jatuh di satu titik---kursi pelaminan. Gadis berbalut kebaya, rambut disanggul khas orang Jawa, dan sebuah senyum yang seakan enggan lepas dari bibirnya. Tidak lupa polesan make up natural turut ikut menambah kecantikan gadis itu.

Dari gadis itu, bola mataku berpindah pada sosok di sebelahnya; laki-laki yang akrab kusebut Abang, di tubuhnya dan di tubuhku mengalir darah yang sama. Dia terlihat gagah dengan stelan tuxedo hitam dengan dalam kemeja berwarna putih, juga rambut yang ditata sedemikian rupa. Tidak berbeda dengan Kak Vanvan, Bang Satria pun tersenyum dengan sangat manis.

"Son, Bang Satria ganteng, ya," kataku pada Nerson.

"Ganteng. Cuma ...."

"Cuma apa?"

"Nggak lebih ganteng dariku."

Refleks kucubit pelan pinggangnya. "Dasar narsis."

"Iya dong. Karena kalau nggak narsis bukan aku orangnya."

Tumben sekali si Nerson mengaku.

"Kalau Kak Vanvan, gimana? Kamu nggak mungkin bandingin kamu sama dia kan," kataku memancing reaksi Nerson.

"Cantik, sih. Tapi ...."

"Ada tapinya juga?"

"Dia nggak lebih cantik dari kamu."

Seketika hatiku hangat. Bagai gadis remaja yang baru saja mendapat sanjungan dari pacarnya. Ini memang lebay, dan aku tidak pandai membohongi hatiku.

"Kalau dilihat dari ujung pipet dan dari ketinggian satu juta kilometer di atas langit," sambung Nerson.

"Nerson ...," tangkas kucubit lagi perutnya.

"Cie ... yang ngarep dipuji."

Sementara kami asyik beradu argumen, orang-orang di depanku dan di belakang Nerson senyum-senyum malu. Perdebatan tak jelas kami ternyata punya pendengar lain yang mendapatkan hiburan gratis sambil mengantre.

Yes. Saat ini kami sedang mengantre untuk mendapat giliran memberi salam sekaligus ucapan selamat bahagia kepada Bang Satria dan Kak Vanvan. Sebetulnya, bisa saja kami melakukannya nanti ketika para tamu sudah mulai berpulangan. Apalagi mengingat posisiku di sini merupakan saudara kandung dari pengantin laki-laki. Tetapi, Nerson bersikeras untuk melakukannya sekarang. Katanya lebih afdol. Padahal menurutku, baik sekarang ataupun nanti, semuanya sama.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang