Enam

199 45 0
                                    

Alhasil aku pulang dengan hati yang sangat dongkol. Setibanya di rumah, kuceritakan semua pada Mama yang tentunya mendapat respons gelak tawa dari Bang Satria. Lebih parahnya kali ini Mama tidak membelaku hanya karena hal sederhana, yaitu ayam yang kubeli bersama Kak Vanvan kurang. Mama bilang kalau seharusnya kami tidak membeli ayam saja, tetapi juga lauk yang lain. Mama baru ingat, hari ini ada acara makan malam sederhana bersama kolega papa.

Berhubung lauk yang kami beli kurang, jadilah aku dan Kak Vanvan kembali ke supermarket membeli segala sesuatu yang mungkin bisa untuk mengisi kulkas. Untungnya laki-laki menyebalkan itu tak lagi berada di tempat kami berkutat. Mungkin dia sudah pulang atau mungkin ke tempat lain di supermarket ini.

Selesai belanja barang sesuai dengan petunjuk di daftar belanjaan yang ditulis mama, aku dan kak Vanvan langsung pulang. Di rumah tepatnya di dapur, kami kembali ikut membaurkan diri sibuk dengan kegiatan masak-memasak.

"Apa ini nggak kebanyakan, Ma?" kepoku ketika Mama asyik menuang lauk dari wajan ke wadah porselen.

"Kebanyakan gimana. Justru ini kurang banyak. Tamu kita tuh temen lamanya Papa."

"Lho, tadi kata Mama kolega doang."

"Teman lama kan bisa jadi kolega juga."

Aku manggut-manggut paham. "Emang Papa kalau makan malam bareng koleganya selalu disuguhi makanan banyak, Ma?"

"Oh iya, dong. Namanya menjalin silaturahmi," ucap Mama seraya meyerahkan wadah berisi lauk itu ke tanganku. "Taruh di meja makan gih."

Seturut perintah Mama, aku membawa lauk itu ke ruang makan kemudian meletakkannya di atas meja. Seterusnya melangkah hendak ke kamar, apa lagi jika bukan untuk mengurung diri, menghabiskan waktu membaca novel. Kak Vanvan? Dia sudah pulang sejak setengah jam yang lalu, tapi nanti balik lagi ketika menjelang makan malam.

"Acha," panggil Mama saat kakiku hampir menginjak anak tangga. Mau tidak mau aku harus berbalik ke dapur.

"Kenapa, Ma?" sahutku.

"Masuk ke kamar langsung mandi, dandan yang cantik, jangan lupa pakai parfum. Pokoknya harus perfect."

"Buat apa, Ma. Kan yang datang kolega sekaligus temen lamanya papa. Itu artinya, nggak ada kena mengena sama Acha."

"Ada, Acha. Nanti kalau mereka nanyain anak perempuan Mama di mana, gimana? Mama nggak mungkin pamerin kamu dengan pakaian kucel, rambut cepol, muka kusam kayak gini."

"Ya nggak apa-apa kali, Ma. Artinya Acha gadis yang polos."

"Polos-polos juga nggak mungkin nggak mandi kan, Sayang."

"Ya udah, Acha mandi. Tapi nggak pake dandan."

"Sama aja bohong. Udah, iyain aja omongan Mama."

"Ma..."

"Nggak ada ada bantah-batahan. Ingat, mandi, dandan, pakai parfum. Oh, satu lagi pakai dress."

"Dress juga Ma?"

"Iya dong, namanya dandan. Ya harus completed."

Kalau sudah begini, alamatnya omongan Mama tidak bisa ditawar. "Oke, Ma," kataku pasrah.

Sambil melangkah, sambil aku menebak seistimewa apa kolega papa. Pasalnya, sudah sering aku memergoki Bang Satria bertemu koleganya di kafe. Mereka hanya makan dan minum seadanya, itu pun pakai menu yang ada di sana. Bang Satria tidak pernah mengajak rekan bisnisnya makan malam istimewa seperti yang akan dilakukan papa dengan koleganya malam ini.

"Udah belum?" selidik Mama lagi, selalu memekik dari lantai bawah. Entah keberapa kalinya Mama menanyaiku.

"Belum, Ma. Sabar," sahutku. Pandangan mataku tak lepas dari cermin.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang