Dua Puluh Tujuh

167 39 2
                                    

Jika ada yang menyebut definisi cinta itu menyakitkan, jangan terus percaya. Sebab cinta tidak seburuk itu. Tetapi juga, jika ada yang membuat pengertian cinta hanyalah suatu hal yang indah saja, jangan lantas percaya. Sebab cinta pun tidak selalu demikian. Kita tidak akan tahu apa definisi cinta sebenarnya jika belum pernah merasakan cinta itu sendiri. Tidak ada ubahnya aku. Dari dua definisi di atas, bagiku cinta berada pada keduanya. Cinta itu sakit, ketika dia memang membuatmu sakit. Sebaliknya, cinta itu hanya ruang yang berisikan hal yang indah-indah, saat dia memberimu kebahagiaan.

Berangkat dari kenangan pahit hingga menggoreskan rasa trauma pada dua setengah tahun silam, membuatku lebih berhati-hati dalam memercayai cinta. Berusaha untuk tidak ingin lengah, tidak dikalahkan oleh rasa nyaman. Akan tetapi, aku kalah jua. Cinta berhasil mengukuhkan dirinya. Atas kekalahan ini pula, aku berharap semoga kali ini tidak salah. Nerson adalah cinta yang sesungguhnya cinta. Tempat pelabuhan hati terakhir yang tidak pernah ingkar.

***

Menatap langit menjadi kebiasaan baru yang kulakukan setelah penat berkutat dengan rutinitas. Aku pun tidak tahu. Entah kenapa setiap angkasa luas itu menyapa diikuti terpaan similiar angin bersuhu tipis, rasa lelah hilang begitu saja. Ajaib lagi, tanpa sadar aku akan hanyut bersama pikiranku. Mengenang segala hal yang dapat dijangkau ingatan, terutama lingkup cinta. Mungkin inilah alasan mengapa kisah-kisah di bawah angkasa kalbu nan remang lebih mengangkat ulasan cinta dan memorinya.

"Ariska," tegur seorang insan; Nerson. Sebentar tadi dia meminta izin untuk mandi.

"Kamu panggil apa tadi?" kataku terkesiap.

Nerson terkekeh. "Kedengarannya apa?"

"Kedengarannya aneh. Selama dua puluh empat tahun aku hidup, hampir tidak ada orang yang memanggil namaku secara benar."

"Masa ...?"

"Iya. Maksudku kecuali zaman sekolah dulu."

"Dan ...?"

"Saat aku memperkenalkan diriku pada orang-orang."

"Selain itu?"

Sejenak aku berpikir. Mengingat-ingat momen di mana namaku disebut secara baik dan lengkap. "Udah. Itu doang."

"Ijab kabul?"

"Ah, ya, bener. Ijab kabul."

"Nggak peduli, sih. Mau Acha, mau Ariska, semuanya sama-sama baik."

Aku mengangguk. Keduanya merupakan nama pemberian Mama dan Papa. "Dulu, aku pernah nanya ke Bokap Nyokap, kenapa aku dipanggil Acha bukan Ariska. Terus, Papa bilang, biar gampang diingat aja. Nama itu terdengar unik dan menggemaskan."

"Iya, semenggemaskan pemiliknya," sahut Nerson pelan hampir tak terdengar.

"Jadi, aku ini ngegemesin?"

"Iya. Tapi, kata orang komplek sebelah. Kataku, sih, biasa aja."

Aku berdecih. "Dasar gengsi."

Nerson tak membalas ejekanku. Sebentar dia terdiam. Seperti menyesap ketenangan malam. Hanya lampu balkon dan pantulan lampu dari rumah tetangga yang menerangi tempat ini.

"Kayaknya, aku bakal lebih sering manggil kamu pakai nama asli. Ariska. Biar limited edition. Soalnya kalau pakai nama panggilan yang biasa rada nggak afdal. Masa suami nggak ada bedanya sama orang lain."

"Nggak apa-apa. Yang mana aja aku nyaman."

"Tapi ...." Nerson menggantungkan omongannya.

Aku menautkan alis tinggi. Menunggu kalimat selanjutnya.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang