Dua Puluh Lima

165 37 0
                                    

Langkah demi langkah, kakiku kian jauh meninggalkan kamar. Pula, genggaman Nerson di pergelangan tangan ini ikut mengerat. Istilah seorang suami yang takut kehilangan istri yang teramat dicintainya. Sayang, itu hanya sebuah permisalan, sebab pada faktanya, hati Nerson tidak ada bersamaku.

Hatiku gundah dikalut rasa yang tetap saja tak dapat kupahami. Sampai-sampai otakku turut bekerja mengabsen satu per satu anak tangga. Hingga tepat hitungan itu berhenti di anak tangga yang terakhir, durasi deruan hatiku bertambah cepat dan rasa perih itu kian menyayat.

Detik ini, aku sadar, aku sedang cemburu. Sepertinya ... cinta. Perasaan nyaman yang tidak hanya sekadar nyaman. Melainkan bercampur takut. Aku takut kehilangan Nerson, aku takut hari yang mungkin tidak terencana itu tiba---perpisahan.

Kucuri pandang ke wajah Nerson, ekspresinya tak sedikitpun dirundung rasa bersalah. Ah, tidak mungkin. Hati siapa tak senang memamerkan pujaan hatinya pada orang lain. Aku juga begitu.

"Oval ...." teriak Nerson ke seluruh penjuru ruang tamu.

Tak ingin kalah, diiringi rasa penasaran, segera kusapu pandang ruangan tamu ini. Namun, aku tak menemukan siapa-siapa di sana. Kecuali ....

"Oval, di sini kamu rupanya. Padahal, Mas sudah jantungan gegara nggak nemuin kamu di kamar," tukas Jeremi seraya menghampiri si Oval. Dibawanya binatang itu ke pangkuan. Dibelai lembut bulunya.

Ya, aku tidak menemukan apa-apa di sini, selain seekor kucing berbulu loreng hitam putih, bertubuh gemuk dan bermata terang. Tampaknya, memang kucing itu dirawat baik oleh mertuaku.

"Cha, kok diem. Ayo ke sini!" ajak Nerson menepuk permukaan sofa di sebelahnya.

Meski sedikit bingung, kuikuti jua perintah Nerson.

"Kamu kelihatan bingung. Ada yang nggak biasa di sini?"

"Nggak, sih. Cuma rada aneh aja. Bukannya tadi kamu bilang kita pengen ketemu pacarmu? Tapi, kenapa malah duduk di sini? Atau malah nggak jadi?"

"Jadi. Kalau nggak jadi, ngapain aku repot-repot turun dari lantai dua."

"Terus, di mana pacarmu? Kok, belum dateng juga?"

"Udah, Cha. Dia ada di sini," kata Nerson sambil menunjuk makhluk di pangkuannya.

"Gimana-gimana?" tanyaku tidak paham. Takut telingaku sedang berhalusinasi lantaran dentuman gundah di hati.

"Kenalin ini pacarku Oval." Nerson mengangkat kaki depan sebelah kanan milik Oval.

Sejenak aku termangu. Mencerna baik-baik penuturan Nerson. Suamiku nggak lagi ngingau kan?

"Hei ...." Nerson melambai tangan tepat di depan wajahku. "Yah, malah bengong."

"Nggak bengong, tapi mikir. Takutnya kamu lagi ngigau."

"Kamu tuh, ya. Dikit-dikit nuduh orang ngigau. Logika dong, Cha, aku ngingau dari mana. Tidur aja enggak."

"Iya, sih. Tapi, masa calon maduku kucing."

"Yang mau punya istri lagi, siapa? Punya istri sebiji aja, aku pusing. Apa lagi nambah satu, stres aku."

Tanpa sadar, senyum simpul terukir di bibirku. Seperti ada perasaan lega kalau ternyata Nerson tidak benar-benar memiliki pacar. Tidak apa jika aku harus berbagi kasih sayang dengan kucing. Asal tidak dengan wanita lain.

"Hm ... Mulai lagi bengongnya. Bikin curiga, bukannya mikir malah kesambet."

"Enak aja, kesambet. Kamu tuh, kesambet. Masa pacaran sama kucing."

"Mending sama kucing dah. Daripada kamu sama cowok tukang selingkuh."

"Si Oval juga tukang selingkuh."

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang