Hanya sekali lafaz, aku sah menjadi istri Nerson. Bersamaan pula, air yang sedari tadi kutahan mengalir dengan derasnya. Sungguh, rasanya masih seperti mimpi. Hari ini aku resmi berganti status. Setelah melewati drama suram di masa lalu, ternyata jodohku sampai lewat cara yang tak pernah kuduga, perjodohan.
Melirik sekilas ke arah mama, tampak wanita yang sangat kucintai itu menangis sendu. Sepertinya mama juga belum percaya bahwa gadis manja kemarin sore ini telah menikah. Sama halnya dengan papa dan bang Satria, meski mereka tidak menangis, aku dapat merasakan kesedihan sekaligus kebahagiaan di hati mereka. Sedih, karena gadis manja ini tak lagi lalu lalang di rumah setiap saat sebagai pengacau untuk mereka. Senang, sebab gadis manja ini akhirnya melepaskan salah satu statusnya dan berganti ke status baru yang lebih mumpuni.
Selanjutnya ke sesi menyarung cincin. Namun bukan bagian menyarung cincinnya yang mendebarkan bagiku, melainkan ketika Nerson mendaratkan bibirnya di keningku. Adegan cium kening merupakan pertama kalinya di hidupku selain bersama papa.
"Mama nggak nyangka. Hari ini, detik ini. Putri Mama telah menjadi seorang istri," tukas mama tepat seperti dugaanku. Beliau memelukku dekap.
"Acha juga nggak nyangka. Semua masih terasa seperti mimpi," kataku terisak. Suasana semakin haru.
"Udah, nggak usah nangis. Calon Ibu kok cengeng," cibir bang Satria.
"Abang nggak ngerti gimana sedihnya Acha. Nggak bisa koar-koar lagi dari kamar cuma buat mastiin kalau Mama ada di rumah. Nggak bisa teriakin bang Satria kalau lagi boker di toilet. Nggak akan diteriakin Mama lagi kalau Acha bangun kesiangan," tukasku sedih.
"Siapa bilang nggak bisa. Kamu bisa berkunjung ke rumah sesering yang kamu mau," tutur mama.
"Bisa sih bisa, Ma. Tapi ceritanya udah nggak sama. Acha nggak mungkin teriak-teriak di depan Nerson."
"Pemalu rupanya," celetuk tante Hana. Barusan beliau naik pangkat dari calon mertua ke ibu mertua.
"Dengerin, Son. Istri lo sukanya jerit-jerit. Jadi, jangan heran semisal adik gue ngomongnya rada kembaran sama toa," imbuh bang Satria mencairkan suasana.
"Tenang, Nak Satria, masalah diomelin dan diteriaki, Nerson sudah terlatih dari kecil," kata ibu mertua.
"Syukurlah. Seengaknya suami si Acha nggak akan mati jantungan gegara diteror terus sama suara toa."
"Ma, tengok Bang Sat tuh," rengekku ke mama.
"Satria. Udah, jangan godain Acha lagi," tukas mama langsung memproses aduanku.
"Lha, kirain setelah jadi istri orang, manjanya langsung hilang. Eh, nggak taunya makin parah," ucap bang Satria tidak mengindahkan omongan mama. Sementara aku tak perlu ditebak, sekarang pipiku lebih mirip kepiting rebus.
Berangkat dari ijab kabul, kini kami sampai di acara resepsi. Menjadi raja dan ratu sehari di atas singgasananya sambil menyalami para tamu, tidak lupa memamerkan senyum paling lebar. Tak sedikit pun kami istirahat, semua acara seakan sambung-menyambung mengantri di belakang. Kata papa supaya semuanya cepat selesai alias tidak sampai menghabiskan waktu tujuh hari tujuh malam, setelah itu bisa istirahat sepuasnya.
Ya kali tujuh hari tujuh malam, dikira ini pernikahan raja di zaman Majapahit.
Beruntung kegiatan jabat-menjabat tamu tidak dilakukan berdiri. Kalau sampai, tidak tahu bisa berubah menjadi apa kakiku.
Dari sekian banyak tamu yang hadir, hanya ada sepasang manusia yang benar-benar menarik perhatianku. Mereka ada di selisih lima orang setelah tamu di hadapanku. Aku sengaja mengundang dua manusia itu. Rasanya tidak adil apabila hanya aku yang datang ke pernikahan mereka. Justru mutualisme, mereka juga harus hadir di pernikahanku sebagai tamu tak tahu malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Kurir Resek (✓)
RomancePART MASIH LENGKAP Perhatian! Ini tulisan penuh plot hole. Cover: Pixbay Font Cover: Teks on Photo Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang ©TantiRH