Sebelas

195 45 0
                                    

Paginya aku bangun dengan sebuah tangan bertengger di perut. Tidak perlu berteriak seperti cerita-cerita dalam novel. Karena aku sadar, semalam tidur dengan siapa. Memang sebelum memejamkan mata, aku sempat menaruh bantal sebagai tameng pemisah antaraku dan Nerson. Dan sekarang bantal itu sedang terkulai tak berdaya di atas lantai.

Huh, rasanya tubuhku remuk sekali. Istirahat semalam tidak cukup mampu mengembalikan tenagaku yang terkuras habis disebabkan pernikahan kemarin. Belum lagi sebelum-sebelumnya, mulai dari fitting sampai pada menyebar undangan.

Aku mengerjap menyapu pandang sekitar. Pupil mataku refleks mengecil ketika bertemu dengan cahaya dari balik ventilasi. Tunggu-tunggu, cahaya? Artinya ini...

Tergopoh-gopoh, aku melangkah ke kamar mandi. Mencuci wajah asal, menggosok gigi kilat. Perempuan macam apa yang bangun siang di hari pertamanya sebagai menantu. Ah, maksudku hari yang hampir kedua hari. Aku bergegas keluar kamar tanpa membangunkan manusia angkuh di ranjang sana.

"Maaf, Ma. Aku terlambat bangun," kataku ketika mendapati mama mertua sibuk menata makanan di meja dibantu seorang wanita paruh baya.

"Nggak apa-apa. Malahan ini terlalu pagi untuk pengantin baru," tukas mama, mengatur tata letak gelas. "Oh, kenalin ini Bi Darmi. Dia yang bantu mama menyelesaikan kerjaan di rumah."

"Halo, Bi Darmi. Aku Acha," ucapku seraya menjabat hormat tangan wanita paruh baya itu.

"Nyonya Acha, saya Darmi."

"Jangan panggil Nyonyalah, Bi. Bawaannya Acha berasa tua banget. Panggil Acha aja."

"Kayaknya kalau cuma Acha, kesannya kurang sopan. Bagaimana kalau Bibi panggil Nak Acha saja?" usul bi Darmi.

"Nah, itu lebih baik. Jadi Acha saat ngomong sama Bibi berasa lagi ngomong sama orang tua Acha. Lebih akrab, Bi."

"Duh, sudah cantik baik lagi."

"Baik kan menantu saya," imbuh mama.

"Iya, Bu. Baik banget," balas bi Darmi.

Ternyata mama Hana orangnya lemah lembut, sudah itu rendah hati. Tapi kenapa anaknya terlahir sebagai sosok angkuh dan menyebalkan? Wah, tampaknya ada yang salah dengan Nerson.

Selesai menata meja yang akhirnya ketegesa-gesaanku berakhir sia-sia, lantaran sejak tadi aku tak melakulan apa pun di ruangan ini. Tak berapa lama, papa mertua turun kemudian diekori seorang laki-laki di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan makhluk ciptaan Tuhan yang paling menyebalkan.

"Pagi, Ma. Pagi, Bi Darmi," sapa Nerson tanpa menyebutkan namaku.

"Lho, Papa nggak disapa?" tanya mama.

"Udah tadi, Ma. Mau turun ke sini."

"Istrimu?"

"Udah aku cium, Ma. Di kamar."

"Anak Mama manis banget," komentar mama, sementara papa hanya bisa berdehem.

Si Nerson kalau mencari jawaban memang tidak pernah benar. Jelas-jelas kami tidak melakukan apa pun di kamar, tapi sanggup dia berkata kami berciuman ke mama.

Tunggu bagian lo.

Untuk beberapa saat, hanya piring dan sendok beradulah yang mengisi ruangan ini. Masing-masing kami, bungkam tanpa berani membuka pembicaraan. Sungguh, aku kurang nyaman dalam posisi ini. Karena selama di rumah orang tuaku, akulah biang keroknya.

"Hari ini kamu nggak kerja, kan?" tanya mama memecah hening.

"Nggak, Ma. Aku sama Acha mau beres-beres rumah," jawab Nerson.

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang