Dua Puluh

181 36 3
                                    

Sekitar pukul sembilan malam, aku pulang dari toko Mama. Tidak munafik, hari ini benar-benar sangat melelahkan. Namun, rasa lelah itu seakan terbayar dengan untung yang didapat dari seluruh penjualan barang. Laba yang besar itu bukan didapat dari persen per satu barang, melainkan karena jumlah barang yang terjuallah yang mendatangkan untung besar.

Dari luar pagar, kudapati rumah dalam keadaan gelap gulita. Itu berarti Nerson belum pulang. Aku maklum dan sudah terbiasa. Seminggu belakangan ini Nerson sering pulang larut malam. Entah karena barang antaran yang banyak, atau pekerjaan di kantor yang tak berkesudahan, atau nongki dulu bersama teman-temannya. Entahlah, aku tidak pernah menanyakan itu. Bukan apa, hanya saja aku tidak ingin terkesan sebagai istri yang membatasi lingkup gerak suaminya.

Usai memarkirkan mobil, aku bergegas masuk ke dalam rumah. Tanpa membuang waktu, segera mandi dan sedikit bersolekritual perawatan di malam hari. Kemudian kembali ke lantai bawah untuk makan malam. Biasanya kalau Nerson pulang terlambat, aku akan makan lebih dulu. Bukan tak sabar menunggu hingga Nerson pulang, melainkan aku harus menjaga lambung supaya tak masuk rumah sakit lagi.

"Aku pulang," gema suara sesorang dari luar rumah. Cukup kenal bahwa orang itu adalah Nerson.

"Ya ...." Kusahut saja sekenanya supaya Nerson tahu bahwa aku mendengar. Lalu, melanjutkan kembali santapan makan malamku.
Meski hubungan kami sudah sedikit membaik, tetapi aku tak lantas menempatkan diri layaknya istri kebanyakan. Tidak sekalipun aku menyalami tangan Nerson ketika dia hendak pergi bekerja, tidak juga saat dia sudah pulang. Bagiku, Nerson masih seperti orang asing, terjebak dalam pernikahan yang tak diharap, sampai duduk berdua di satu rumah.

"Maaf, aku pulang telat," ucap Nerson. Kupikir dia meneruskan langkah ke kamar, tetapi nyatanya dia justru menemuiku ke meja makan.

"Nggak apa-apa. Kamu pengen makan dulu apa mandi dulu?" balasku.

"Kalau makan dulu, gimana?"

"Aku bakal nyiapin makanan buat kamu."

"Terus, kalau mandi dulu?"

"Kamu pergi mandi. Baru nanti ke sini lagi buat makan."

"Kirain kamu mau mandiin aku," ucap Nerson berlagak lesu.

"Sembarangan. Kamu bukan bayi yang harus dimandikan."

"Tapi, teman-temanku bilang, istri mereka menganggap mereka bayi. Bayi besar."

"Itu istri temanmu. Dan aku bukan istri temanmu."

"Iya, aku tau. Kamu istriku."

Meskipun tidak ada cinta. Aku senang karena dianggap ada. Setidaknya kami bukan pasangan menikah sedramatis suami istri di layar televisi. Aku juga dapat merasakan semakin ke sini pertalian pernikahan ini bertambah baik. Aku bahkan sudah lupa kapan memanggil Nerson dengan sebutan genderuwo.

"Cha, tadi aku ketemu mantanmu di minimarket dekat ekspedisi," tukas Nerson di tengah kunyahannya.

"Mantan?"

"Itu, lho, cowok yang narik tangan kamu di supermarket waktu kita belanja kebutuhan dapur bareng. Namanya Raka, bukan?" tanya Nerson seperti mencoba mengingat-ingat.

"Oh, Raka. Kenapa dia?"

"Nggak apa-apa, sih. Cuma tadi dia dengan sangat kurang ajar menarik kerah bajuku. Terus, rada ngancem gitu."

"Raka ngancem kamu?"

Nerson berdehem. "Iya. Dia bilang, dia bakal ngambil kamu dari aku."

Penuturan Nerson berhasil menorehkan senyum sungging di bibirku. Kayaknya Raka sedang dirundung perasaan menyesal karena telah mencurangiku dan memilih Vivi yang notabenenya tidak lebih baik dariku. "Sekali lagi, kalau dia ngomong gitu, kamu nggak usah dengar. Itu orang emang sedikit miring."

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang