Tujuh

197 44 0
                                    

Daripada sibuk memikirkan perjodohan konyol barusan, aku memilih berkutat dengan angka dan kalkulator. Menghitung total mutasi uang masuk dan keluar selama sebulan ini. Takut-takut bukannya untung tapi malah tekor.

"Empat tujuh sembilan..." Omonganku terhenti ketika telingaku menangkup bunyi derapan kaki sedang menaiki anak tangga. Dari hentakan kakinya lebih mirip dengan hentakan kaki bang Satria, kasar seperti terburu-buru.

Sebentar, aku mengangkat kedua bahu, tidak peduli. Kemudian kembali menghitung jumlah angka-angka yang tertera di kertas juga di peranti elektronik miliku, ponsel dan laptop. Namun baru sampai di barisan angka yang kedua, seseorang membenturkan permukaan jari-jemarinya ke permukaan pintu kamarku hingga menghasilkan bunyi ketuk.

Jika tadi aku sempat menduga yang datang adalah bang Satria, sekarang aku harus mengubah dugaanku. Yang datang bukanlah bang Satria melainkan mama. Aku menebak begitu karena suara ketukan pintu barusan teramat lembut.

"Buka pintunya, Sayang." Dugaanku benar, seseorang di balik pintu sana adalah mama.

Aku mendengus pelan. "Sebentar, Ma," sahutku. Tanpa perlu menebak lagi, aku sudah tahu maksud kunjungan mama ke kamarku.

"Boleh Mama masuk?" tanya mama segera setelah pintu terbuka.

"Boleh, Ma," anggukku.

Setelah mendapat persetujuan, mama berjalan menghampiri ranjang kemudian mendudukkan pinggul di sana. "Kok, berantakan?"

"Acha lagi ngehitung pengeluaran dan pendapatan bulan ini, Ma."

"Jadi, untung?"

"Belum tau, Ma. Belum kelar ngitungnya."

"Oh. Mama pikir udah selesai."

Sepersekian menit, aku dan mama sama-sama bungkam. Seketika ruangan ini berubah senyap, suhu udara pun seakan ikut menurun. Ya, kamar ini terasa dingin. Sedingin hatiku menanggapi kehadiran mama.

"Duduk di sini, Sayang," ucap mama seraya menepuk pelan kasur di sebelahnya.

Tak ada niat membantah, kuturuti saja perintah mama. Segera aku mendudukkan diri di samping mama.

"Mama ngerti kamu nggak suka perjodohan ini," tukas mama, membelai lembut rambutku. Menyelipkan anakannya di belakang daun telingaku. "Dijodohkan dan menjodohkan adalah tradisi yang teramat kolot bagimu. Tapi mau gimana lagi, perjodohan ini merupakan wasiat dari mendiang kakekmu. Beliau menjodohkan kamu dengan Nerson supaya tali kekeluargaan kita nggak putus."

"Menjaga hubungan keluarga nggak harus dengan cara perjodohan juga kan, Ma. Banyak kok anaknya nggak dijodohin sama sepupunya atau anggota keluarga mana pun, tapi hubungan kekeluargaan mereka tetap terjalin baik. Semakin harmonis malah."

"Mereka beda, Sayang. Keluarga mereka beda dengan keluarga kita."

"Di mana bedanya, Ma?" Hampir saja emosiku meledak. Beruntung aku pandai mengendalikan diri. Alhasil penuturanku tak sampai melukakan hati mama dan volume bicaraku tak sampai membentak mama.

"Kamu ingat dulu kenapa papa menentang hubunganmu dengan Raka? Kamu pasti bingung, kenapa papa terkesan egois. Itu semua karena ini Sayang, perjodohan ini alasannya," jelas mama tidak mengindahkan pertanyaanku.

"Tapi, Ma, aku nggak mau dijodohin. Raka yang murni berpacaran denganku karena cinta saja, bisa selingkuh. Gimana dengan Nerson, dia nggak kenal sama aku."

"Hei, sadar Acha. Nerson itu bukan Raka. Nerson itu cowok baik sedangkan Raka cowok brengsek. Mama yakin Nerson mampu menjagamu."

"Nggak bisa, Ma. Nerson nggak baik, dia cowok paling nyebelin sedunia."

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang