Epilog 2

236 36 7
                                    

Baik dua bulan lalu, atau hari ini tidak ada ubahnya. Sehabis dari laundry, aku lanjut menjadi tenaga suka rela di toko Mama. Meski pesanan masuk minggu ini sedikit reda, tetapi bukan berarti tidak sibuk. Kami tetap sibuk, hanya saja tidak sesibuk minggu kemarin. Sederhanya, aku masih punya waktu untuk istirahat leha-leha.

Begitu pun dengan Nerson. Dia menjadi lebih kerap mengunjungiku dibanding berdiam diri di ekspedisi. Ya, walau sebelumnya memang sudah terbilang sering. Namun, belakangan ini justru jauh lebih sering daripada biasanya. Hampir tidak pernah dia berada di kantornya. Alasan klise, kata Nerson dia khawatir aku kenapa-kenapa. Khawatir aku lupa makan, khawatir aku melewatkan waktu minum vitamin, khawatir aku stres, lebih aneh lagi dia khawatir aku terlalu banyak melirik pelanggan tampan di laundry. Alasan klise lagi, dia takut anaknya justru mirip orang itu bukan dia.

Dari semua kekhawatir konyol itu, aku malah berpikir bukan anak dalam kandunganku yang menjadi alasan. Melainkan dia lebih khawatir kehilangan aku. Istilah cinta gila; dia nafsu ingin memonopoli segala hal. Hanya aku beruntung, Nerson tidak ada dalam golongan suami psikopat. Dia tidak pernah melarangku bergaul dengan siapa pun. Yang aku sadari, dia kerap diam-diam meneliti gerak-gerik lawan bicaraku. Padahal kan, laki-laki mana yang mau dengan perempuan bersuami, terlebih perempuan itu tengah berbadan dua.

"Gimana keadaan cucu Mama?" tanya Mama di sela kesibukan kami membungkus barang.

"Dia sehat, Ma."

"Syukurlah. Omong-omong, kamu nggak ada niatan punya ART tetap?"

"Belum kepikiran, Ma. Soalnya Acha masih nyaman sama ART yang pulang hari."

"Dipikirin lagi, lho. Bukan apa. Mama cuma mau mengingatkan, nggak lama lagi kamu kan lahiran. Otomatis nggak akan bisa ngerjain kerjaan rumah. Nggak mungkin juga minta tolong Nak Nerson. Atau kamu tega ngebiarin suamimu capek di kantor, terus harus memasak lagi di rumah?"

Omongan Mama benar. Tidak mungkin mengharapkan Nerson mengerjakan pekerjaan rumah, sedang dia sudah capek di kantor.

"Ya udah, Ma. Nanti aku coba ngomong sama ART yang pulang hari."

"Kalau dia nggak mau?"

"Terpaksa harus cari ART baru."

Aku memang belum berencana untuk memiliki PRT tetap. Karena menurutku, asisten rumah tangga yang kerjanya dihitung per jam lebih fleksibel. Sebab, biasanya ART hanya akan mengerjakan pekerjaan yang tidak sempat kukerjakan. Maksudku, selain memasak. Nerson bilang, dia tidak begitu suka menyantap makanan yang bukan masakanku, kecuali dalam keadaan terpaksa.

"Cha, barang yang di meja kasir atas nama satu orang?" tegur Nerson. Bahkan aku hampir melupakan kehadiran Nerson di sini. Salah dia juga, sih, siapa suruh terpencil seorang diri. Saat orang-orang bekerja tim, dia malah memilih menyendiri di sebalik rak berisi kaus.

"Iya, Son. Kamu mau packing?" tanyaku.

"Berdua aja, deh. Males kalau cuma sendiri."

"Gayamu. Barusan juga kamu sendiri, tapi malah kelihatan rajin."

"Kan, yang itu beda, yang ini beda."

"Iyain ajalah. Daripada ribet."

"Yuk, Sayang! Bantuin Masmu ini." Nerson menadah tangan hendak menarik tanganku.

"Nggak usah. Aku bisa jalan sendiri," tolakku mentah-mentah.

"Mulai lagi sindrom bumilnya."

"Jangan salahin hormon Ibu hamil. Salahin tanganmu yang sedikit lancang."

"Fine. Aku salah. Maaf ya, sayang," ucap Nerson pasrah.

"Hem ... besok-besok harus lebih sopan."

Suamiku Kurir Resek (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang