6. Harusnya seperti ini

25 13 1
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

~~~


Bel istirahat baru saja berbunyi. Hampir semua siswa memilih keluar dari kelas masing masing, kecuali Ira yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Bilang jangan ya ?" Sedari tadi hanya kalimat itu yang keluar dari bibir mungilnya.

Setelah lama berkutat dengan pikirannya, akhirnya Ira berdiri dari bangkunya.

"Oke, harus bilang, bisa Ra, gitu doang masa nggak bisa..." Ucapnya menyemangati diri sendiri.

Ira melangkahkan kakinya keluar kelas, baru beberapa langkah, Ira berhenti dan hendak berbalik, namun panggilan seseorang membuat Ira mengurungkan niatnya.

"Mau kemana Ra?"

Bukan, bukan Ino, itu Ale.

"Eh, Le, mau itu, eumm, ke .... " Ira jadi bingung sendiri.

"Vino?" Tebak Ale tepat sasaran.

"Eh.."

"Vino di perpus, lagi nyari buku katanya." Setelahnya Ale melenggang pergi dengan santainya.

"Cenayang..." Lirih Ira yang masih terkagum dengan bakat terpendam Ale.

Ira berjalan tergesa menuju perpus, entah apa alasannya, padahal jam istirahat masih lama.

Sesampainya di depan perpus, Ira sibuk memperhatikan sepatu sepatu di rak khusus yang disediakan.

"Ada." Ucapnya setelah melihat sepasang sepatu milik Ino.

Ira masuk ke dalam dan mencari cari keberadaan Ino.

"Ino !!" Panggil Ira cukup keras membuat semua orang menatapnya.

Ira hanya tersenyum kikuk menahan malu. Sedangkan Ino terkekeh geli melihat tingkah lucu Ira.

Sekarang Ira sudah berada dihadapan Ino, tidak terlalu dekat, Ira tau Ino tidak suka terlalu dekat dengan lawan jenis termasuk dirinya.

"Eumm, No, Ira mau ngomong." Ira membuka percakapan.

"Apa?" Jawabnya singkat, padat, dan tidak jelas.

Judes amat -batin Ira

"Jadi gini, sejak Ino balik kesini, Ira ngerasa kaya, Ino itu bukan Ino, Ira... pernah buat salah ya sama Ino?" Tanya Ira hati hati.

Ino menatap gadis di depannya sebentar lalu memerhatikan bukunya lagi.

"Ira ga ada salah."

"Terus, kenapa Ino kaya ngejauhin Ira? Ino kaya musuhin Ira tau ga?" Tanya Ira mulai berani.

"Ino ga ngerasa gitu."

Sekuat tenaga Ira menahan kekesalannya, jika mereka bukan di perpustakaan, Ira pasti sudah teriak tepat di depan muka Ino.

Ira menarik napas dan mulai bicara lagi.

"Ira mau kita kaya dulu, Ino yang selalu baik sama Ira, nemenin Ira kemana-mana, becanda sama Ira, ngobrol lama sama Ira, ngejagain Ira, ya walaupun Ino suka jail sama Ira, tapi Ira lebih suka Ino kaya gitu, daripada Ino yang sekarang, Ira ga suka." Jelasnya panjang lebar, berharap manusia di depannya ini merespon dengan baik.

Hening...

"Emang, Ino yang sekarang kayak gimana?" Tanya Ino sembari menutup bukunya.

"Ino yang sekarang itu jahat, ga mau ngobrol sama Ira, ga pernah nyapa Ira lagi, jangankan nyapa, senyum aja engga, Ino selalu ngejauh kalo Ira samperin, ada aja alesan Ino kalo Ira ajak kemana/ymana." Jawab Ira menggebu-gebu.

"Harusnya seperti itu." Lagi-lagi jawaban Ino membuatnya kesal setengah mampus.

"Harusnya seperti itu gimana?" Nada bicara Ira mulai tak santai.

"Ya harusnya seperti ini, kita itu bukan mahram Ira, kita ga bisa kaya dulu lagi, kita yang dulu itu masih kecil belum ngerti apa-apa, sekarang kan kita udah besar, harusnya udah tau batasan, batasan pergaulan antara laki laki dan perempuan yang bukan mahram, Ira kan udah ada Wawa, itu lebih baik daripada kita harus deket kayak dulu, sekali lagi Ino tegasin ya Ra, harusnya seperti ini , Ino rasa Ira udah paham, kalo gitu Ino duluan ya, assalamu'alaikum Ra." Jelas Ino panjang lebar, Ino seperti seorang kakak yang menjelaskan sesuatu pada adiknya.

Ira sendiri masih terdiam di tempat duduknya, Ino benar, harusnya Ira tau itu. Ira tidak menyesal, setidaknya ia tau alasan mengapa Ino tak lagi sama seperti dulu. Entahlah, bagaimana perasaan Ira sekarang.

~~~

See u di next part 🤗🧡

Namaku Ira [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang