16. Hari- hari Tanpa Ira

13 8 1
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

~~~

Sudah seminggu sejak kepindahan Ira, Wawa liburan bersama keluarganya, tapi ada yang kurang, ia tidak liburan dengan Ira.

Wawa masih sering berhubungan dengan Ira melalui media sosial, mereka sering telfonan atau bahkan video call, tapi ya tetap saja rasanya berbeda.

Seperti sekarang ini, Wawa sudah telfonan dengan Ira dari satu jam yang lalu, mereka tak pernah kehabisan topik pembicaraan.

Mereka berbincang banyak hal, soal liburan, soal Bandung, dan banyak hal yang lainnya lagi, tiba-tiba sambungan terputus, Wawa tak merasa menekan tombol apapun.

"Kok mati si ?" Wawa mencoba menghubungi Ira lagi, tapi sebuah notifikasi dari Ira membuatnya mengurungkan niatnya.

Rara Sayang 🌼

Batre Ira mau abis Wa

Yaaah

Nanti-nanti lagi
deh

Iya deh, udah malem
juga

Iya, Ira charge hp
dulu ya

Iya Ra, salam buat
Bunda ya

Iyaa pasti

Wawa mematikan HP-nya, lalu merebahkan dirinya di kasur, baru seminggu tanpa Ira saja sudah membuatnya uring-uringan, apalagi berbulan-bulan, bertahun-tahun, membayangkannya saja sudah membuatnya meringis.

~~~

Di tempat lain

Setelah mengirim pesan pada Wawa, Ira keluar dari kamarnya, ia menghampiri Bunda yang sedang beres-beres dapur.

"Ira bantu Bun." Bunda tersenyum dan mengangguk.

Ira membantu merapikan meja dapur dan membersihkan semua sampah yang ada di sana, setelah selesai, Ira dan Bunda duduk di meja makan.

"Gimana Ra Bandung ?" Ira berpikir sebentar.

"Nyaman Bun, terakhir disini Ira masih kecil, jadi ga inget apa-apa atau siapa-siapa."Bundanya terkekeh.

"Maaf ya, Ira harus pisah sama Wawa jadinya." Bunda merasa tak enak hati pada putri semata wayangnya ini.

"Engga apa-apa Bun, lagian kan, emang kita bakal balik ke sini, cuman, ini lebih cepet aja." Bunda mengangguk membenarkan ucapan Ira.

"Oh iya Bun, tadi Wawa titip salam lagi."

"Iya, salam balik ya, tiap hari kirim salam terus Wawa." Ira tersenyum menanggapi.

"Ra, Ira beneran setuju kan sama keputusan Bunda dan Abang ?" Ira menatap Bundanya, ada harapan besar di mata Bunda untuk dirinya, Ira tersenyum dan mengangguk.

"Apapun yang Bunda minta, in syaa Allah Ira terima, karena restu Allah terletak pada restu orang tua." Bunda mengangguk, lalu memeluk putri tercintanya.

~~~

Gema adzan subuh membangunkan Wawa dari lelapnya, ia segera bangkit dan mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat subuh.

Setelah selesai, Wawa mendudukkan dirinya di tepian kasur, ia menepuk-nepuk pipinya pelan, lalu menghela nafas setelahnya.

"Kayaknya gue harus terima kenyataan, kenyataan kalau Ira udah bener-bener pindah ke Bandung." Ia lantas berdiri dan keluar kamar, menghampiri Mamanya yang akan memasak sarapan.

"Ma, Ira udah bener-bener ga disini ya ?" Mama menutup kulkas lalu menatap Wawa.

"Ini hari kedelapan kamu nanyain itu." Mama melanjutkan aktivitasnya.

"Wawa menyedihkan banget, ditinggal sahabat sendiri." Mama melirik sebentar dan geleng-geleng kepala, putrinya ini memang lebay jika menyangkut Ira.

"Mending kamu bantu Mama, nih kupasin bawangnya !" Wawa mengerutkan bibirnya.

"Maaaa." Wawa merengek manja.

"Kenapa ?"

"Kalo Wawa kupas bawang, nanti Wawa nangis dong." Mama mengangkat bahu acuh, mau tak mau Wawa harus mengupas bawang, daripada jadi anak durhaka, lebih baik menurut saja.

~~~

Keesokan harinya Wawa memutuskan untuk pergi ke toko buku, semua novel yang ia punya sudah selesai dibaca, ia juga berniat menambah buku religi, Wawa benar-benar berniat untuk berubah.

Ini kali pertama Wawa ke toko buku seorang diri, rasanya aneh, seperti, entahlah, aneh saja jika apa-apa tanpa Ira, hari-hari tanpa Ira sungguh menyebalkan.

Dengan malas Wawa memutari rak-rak buku, sungguh mood membacanya hilang entah kemana, biasanya saat bersama Ira ia begitu bersemangat, ternyata pengaruh Ira sungguh luar biasa baginya.

Saat memilih buku-buku, pandangan Wawa justru terfokus pada seorang pria yang sedang sibuk membaca buku sambil berdiri.

"Kaya kenal." Wawa memicingkan matanya.

"Ale, manusia paling bahagia di dunia ?" Wawa menganga tak percaya, manusia sejenis Ale suka membaca ?

Wawa dengan segera menghampiri Ale, ia hanya ingin memastikan apa benar itu Ale.

"Misi !"

Ale membulatkan matanya, kenapa Wawa ada di sini juga, fikirnya.

"Ini beneran Ale ? Gue ga mimpi ? Ngapain Lo disini ?"

"Ya, baca buku, gue, pengen aja."

Wawa menahan tawa melihat Ale yang sedikit malu-malu, biasanya ia yang buat malu.

"Santai Le, cowo suka baca juga keren tau." Wawa menaik-turunkan alisnya, entah mengejek atau benar-benar memuji Ale.

Akhirnya mereka memilih buku bersama, kehadiran Ale sedikit menghibur Wawa, ia sedikit bersyukur bertemu Ale sekarang, ingat, hanya sedikit.

Setelah membayar buku masing-masing, mereka keluar dari toko buku, Ale menemani Wawa sampai supir pribadi Wawa datang menjemput.

"Supir gue udah dateng tuh, gue duluan ya, btw, makasih udah nemenin." Wawa tersenyum tulus.

"Iya sama-sama."

Saat Wawa hendak melangkah, Ale teringat sesuatu

"Wa !"

"Iya kenapa?" Wawa menghentikan langkahnya

"Tumben sendiri, Ira mana ?"

~~~

See u di next part, thank u 🤗🧡

Namaku Ira [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang