8. Sudah Terbiasa

26 13 1
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

~~~


Ira dan Wawa baru saja sampai di sekolah, kebetulan mereka datang lebih awal, jadi, sekolah masih sepi.

Mereka menyusuri koridor menuju kelas mereka, Wawa terus mempercepat langkahnya dengan kesal.

Bagaimana tidak kesal, sejak tadi Ira terus bersenandung dan melompat-lompat, mau tak mau, Wawa harus mempercepat langkahnya agar sejajar dengan Ira.

"Ira, pelan-pelan dong, masih pagi udah lompat-lompat aja !" Teriak Wawa kesal.

Ira hanya tersenyum seakan tak berdosa, dan melanjutkan aksinya.

Wawa menghela nafas pasrah, Ira kalau sudah begini, susah untuk dilarang.

Saat hendak sampai di depan pintu kelasnya, Wawa tak lagi mendengar senandung Ira, Wawa pikir Ira kenapa-napa, ia pun bergegas masuk ke kelas, ternyata oh ternyata...

"Ooh, ada Vino, pantesan." Monolog Wawa kemudian menghampiri Ira yang sudah duduk manis di bangkunya.

Ira memang begitu sekarang, kalau ada Ino, ia menjadi pendiam, tidak banyak omong, apalagi banyak tingkah.

Sebenarnya, sedari dulu Ira begitu, Ira akan cerewet dan banyak tingkah hanya pada orang-orang terdekatnya.

Dan sekarang, Ino bukan lagi bagian dari orang terdekatnya, jadi, Ira harus menjaga sikapnya.

Sejak pagi tadi, Ira tak henti-hentinya tersenyum, bahkan jika memungkinkan, ia akan bersenandung, seperti saat ini.

"Wawa oh Wawa Bundaku mau pulang, Bunda pulang Bunda pulang, Bundaku mau pulaaaaaang."

"Iya Ra iya, Bunda mau pulang, tapi ga usah gini juga kali, ga capek apa ?" Kata Wawa sedikit kesal, tidak tidak, sangat kesal.

"Ira seneng banget Waa, ya ampun, Bunda mau pulang, ah seneng banget rasanya, Ira juga ga bakal capek, bahkan sampe ketemu Bunda nanti Ira masih kuat nyanyi kok." Ira tersenyum bangga setelahnya.

"Terserah Ra terserah."

Wawa memilih pergi, daripada kupingnya sakit mendengar ocehan Ira yang tidak ada habisnya.

"Ra !"

Mendengar namanya dipanggil, Ira menolah ke sumber suara.

"Yaa?" Jawab Ira seadanya, Ira kembali ke mode kalem.

"Ngobrol sama siapa ?"

"Sama Wawa, nih !" Ira menunjuk bangku Wawa, Ira terdiam beberapa saat, otaknya masih belum paham dengan sisuasi ini.

Pantesan dari tadi diem aja, ga ngomel-ngomel, ternyata udah kabur duluan, Ira membatin.

Ira hanya bisa menunduk malu, dari tadi ia berbicara sendiri ternyata.

Daripada terus-terusan menahan malu, Ira memilih keluar kelas, ia hendak mencari Wawa.

"Duuhh, malu banget, ini gara-gara Wawa, mana yang mergokin Ino lagi, tambah malu deh." Ira tak henti-hentinya mengomel, sungguh ia kesal pada Wawa.

Ira sudah berkeliling sejak tadi, tapi sama sekali tak melihat Wawa, ia memilih kembali ke kelas, kebetulan ada Ino dan hanya ada beberapa siswa, Ira memberanikan diri untuk menghampiri Ino.

"No !" Panggil Ira.

"..." Tak ada jawaban.

"Nooo !" Kali ini cukup keras, harusnya Ino dengar.

"..." Lagi-lagi tak ada jawaban.

"Vino !" Sekali lagi, dan lebih keras lagi.

"Vino?" Ino malah bertanya.

"Iya, Ira manggil Vino, ga denger ? "

"Ada apa ?" Tanyanya lagi.

"Eum, itu, soal yang Ira ngomong sendiri tadi, jangan bilang siapa-siapa ya." Ira sedikit berbisik kali ini.

Sungguh, Ino ingin sekali menertawakan ekspresi lucu Ira, tapi ia harus menjaga sikapnya di depan Ira, Ino hanya tak ingin melewati batas yang ada, antara dirinya dan Ira.

"Iya."

Mendengar jawaban Ino, Ira langsung tersenyum senang.

"Makasih Vinooo." Setelah berterimakasih, Ira kembali ke bangkunya.

Vino ?

Iya, namanya memang Vino, tapi Ira tak pernah memanggil nya demikian, mungkin pernah, saat pertama bertemu, setelahnya, Ira selalu memanggilnya dengan sebutan Ino bukan Vino.

Mungkin, Ira sudah benar-benar terbiasa, sampai-sampai, panggilannya pun berubah.

~~~


See u di next part 🧡🤗

Namaku Ira [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang