20. Keputusan Besar

10 9 1
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

~~~

Menjelang siang Ino baru sampai di kota Bandung, iya, seorang Vino Alvian Putra benar-benar ke Bandung, ia tak main-main dengan ucapannya tempo hari, ia akan melanjutkan studinya di Bandung

Ia berjalan santai selepas dari bandara tadi, ia langsung saja menuju rumah yang akan ditempatinya selama melanjutkan studi disini

Ia sampai di depan sebuah rumah berpagar besi coklat yang tak terlalu menjulang, halaman asri penuh tanaman menyambutnya, nuansa hijau dan sejuk sangat terasa saat Ino mulai memasuki halaman rumah, ia berhenti tepat di depan pintu kayu berwarna coklat

Ia mengetuk pintu rumah berharap segera dibukakan pintu, ia cukup lelah sedari pagi, mengurus segalanya sendiri cukup melelahkan ternyata

"Assalamu'alaikum Bi" Ino menyalami wanita paruh baya yang baru saja membukakan pintu untuknya

"Wa'alaikummussalam, sudah sampai, kenapa ga ngabarin Bibi ?" Wanita yang menyebut dirinya dengan sebutan Bibi itu sedikit terkejut

"Sengaja Bi, Vino ga mau ganggu Bibi, yang penting Vino udah sampe dengan selamat" Ino tersenyum seakan tak berdosa setelahnya

"Iya deh, ayo masuk, langsung istirahat aja"

"Iya Bi" Ino masuk mengikuti Bibi dari belakang

Benar saja, setelah membersihkan badan dan makan, Ino segera memasuki kamarnya dan beristirahat, ia ingin mengisi tenaganya lagi sebelum mengurus keperluan studinya

~~~

Sore harinya Ino pergi ke teras depan, sudah ada Omnya duduk disana, Ino menyalami Omnya yang baru pulang dan mengambil duduk di sebelahnya

"Kapan sampai Vino ?"

"Menjelang siang tadi Om"

"Kenapa tiba-tiba mau lanjut di Bandung ?" Ino hanya tertawa hambar, ia menggaruk kepala belakangnya

Nyatanya, sudah sejak lama Ino diminta melanjutkan studi di Bandung, namun selalu menolak, namun sekarang, tiba-tiba ia begitu bersemangat melanjutkan studinya di Bandung, jangankan Om dan Bibinya, kedua orangtuanyapun ikut bingung dan terkejut

"Ya udah kalo ga mau jawab, tapi apapun alasannya, Om harap kamu bisa melanjutkan pendidikan kamu dengan baik, ya ?!"

"Iya Om, siap" Ino mengangkat tangannya seolah-olah bersikap hormat

~~~

Keesokan harinya, Ino menyiapkan semua keperluan untuk melengkapi pendaftaran pada salah satu universitas di kota Bandung ini

Entah mengapa ia begitu bersemangat, padahal pendaftarannya masih dua hari lagi, ia jadi menyukai Bandung sejak pertama menginjakkan kaki disini, mungkin karena hal itu ia begitu bersemangat

Selepas menyiapkan semuanya dan memastikan kelengkapannya, Ino berniat untuk berkeliling sebentar, ia ingin cepat menghafal daerah sekitar

Ino berjalan santai menyusuri sekitaran perumahan, Om dan Bibinya memang tinggal di perumahan yang cukup bagus dari segi kenyamanan dan keamanannya, ia jadi betah tinggal disini, terlebih, Om dan Bibinya sangat baik padanya

Dering ponsel membuat Ino menghentikan langkahnya, ia segera merogoh saku dan mengambil benda pipih itu dari saku celananya

"Hallo assalamu'alaikum" Ino memulainya terlebih dahulu

"Wa'alaikummussalam" Ino mengerutkan dahi bingung mendengar nada suara Ale

Yang menelfonnya adalah Ale, nada suaranya terdengar tidak bersemangat, Ino jadi bingung sendiri, tidak seperti Ale yang ia kenal

"Kenapa Lo ? Gitu amat suaranya"

"Wawa"

"Wawa kenapa ?" Ino sedikit menaikan nada bicaranya, takut-takut Wawa kenapa-napa, Wawa sudah seperti adik baginya

"Wawa mondok"

Ino menghela nafas kesal, ia kira Wawa kenapa-kenapa, ternyata mondok, memang menyebalkan Ale, bukannya bagus jika Wawa mondok

"Gue kira kenapa Le, bagus dong kalo Wawa mondok"

"Ya, ya bagus sih, tapi kan " bukannya melanjutkan ucapannya, Ale justru merengek tidak jelas

"Nangis Lo ?" Ino menahan tawanya, baru kali ini ia mendengar Ale menangis, sayangnya Ino tidak bisa melihat langsung

"Engga tuh" diseberang sana Ale menghapus air matanya kasar

"Katanya manusia paling bahagia di dunia, kok nangis ?" Ino semakin mengejek Ale, tak tau saja bahwa Ale benar-benar bersedih ditinggal semua teman dekatnya

"Ga tau ah gue, lo ga bisa pengertian dikit napa" Ale jadi kesal sendiri, sedangkan Ino malah puas menertawakannya

"Abis Lo aneh, Wawa mondok kan bagus, harusnya Lo seneng, bukan nangis, apa jangan-jangan..." Ino sengaja menggantung ucapannya

"Aneh-aneh pikiran Lo, gue sedih aja gitu, temen-temen deket gue ninggalin gue semua, Lo ke Bandung, Wawa mondok, Ira juga udah dari lama ga disini, kan gue sedih gitu"

Ino terdiam, ia baru menyadarinya, benar juga apa yang dikatakan Ale, mereka semua sudah memilih jalan masing-masing, dan hal itu membuat mereka semakin jauh, tapi, bukankah kehidupan memang begitu ? Ada yang datang dan pergi, ada yang hilang dan terganti, tapi tetap saja, pertemanan mereka akan sama sampai kapanpun itu, mereka yakin

~~~

Sebelum langit gelap Ino sudah kembali, ia langsung disambut Om dan Bibinya yang sedang berbincang di teras rumah

"Dari mana Vino ?" Ino ikut duduk setelah menyalami Om dan Bibinya

"Keliling aja, Vino mau cepat berbaur disini Om, Bi"

"Bagus itu, sering-sering aja, biar cepat hafal"

"Iya Om"

"Mandi sana sebelum Maghrib, nanti jama'ah di masjid lagi ya" Ino mengangguk lalu segera bangkit, menuruti perintah Bibinya

Selesai mandi, Ino keluar dari kamar dengan pakaian terbaiknya, ia akan sholat Maghrib berjamaah di Masjid dekat perumahannya, sejak pertama datang ia memang selalu diajak sholat di Masjid oleh Omnya

Ino dan Omnya telah sampai bahkan sebelum adzan dikumandangkan, ini salah satu kebiasaan baik sang Om, menemui sang Pencipta sebelum adzan memanggilnya

Selepas sholat, Ino berbincang dengan bapak-bapak lainnya, ia ikut berbaur dengan masyarakat, namun sayang hanya sedikit anak muda yang ia lihat di Masjid, kebanyakan adalah para bapak-bapak dan kakek-kakek yang sudah senja

Ino memandangi langit yang masih menampakkan semburat merahnya, ia tengah duduk di teras Masjid seorang diri, membiarkan para bapak terus berbincang didalam sana, tiba-tiba ia teringat Ale, teman dekatnya sejak masih SMP, ia juga teringat Wawa yang ikut menjadi teman dekatnya selama dua tahun ini

Pada kenyataannya, mereka bertiga sudah mengambil keputusan besar dalam kehidupan masing-masing, keputusan yang sudah dipikirkan matang-matang dampak dan akibatnya kelak, dan mereka sudah yakin dengan pilihan mereka

Ino yang melanjutkan studinya di Bandung dan membuka lembaran baru disini
Ale yang tidak melanjutkan studinya dan memilih merawat sang Ibu dan membantu melanjutkan usaha toko rotinya
Serta Wawa yang memilih mondok di pesantren untuk menambah ilmu agamanya dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta

Ino tersenyum mengingat itu semua, ia percaya semua ini ada sebabnya, ia sangat percaya bahwa Allah sudah menyiapkan rencana yang luar biasa, yang bahkan tak terpikirkan oleh akal manusia, untuk kesekian kalinya, Ino berdecak kagum atas kemahakuasaan Sang Pencipta

Di sela-sela lamunannya, Ino tiba-tiba teringat satu nama lagi, Ira

~~~

See u di next part, thank u 🤗🧡

Namaku Ira [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang