17. Kehilangan

10 7 1
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

~~~


Liburan telah usai, semua siswa sudah kembali masuk sekolah, di hari pertama sekolah ini, semua terlihat antusias dan bersemangat, kecuali Wawa, gadis itu beberapa kali menghela nafas, ini hari pertamanya sekolah tanpa Ira.

Wawa duduk seorang diri, sekarang ia dan siswa lainnya sedang menunggu pengumuman pembagian kelas, kelas mereka akan diacak berdasarkan peringkat setiap tahunnya.

Saat seorang guru menempel selebaran di mading, para siswa dengan tergesa mengerumuni mading, Wawa meringis sendiri, melihatnya saja sudah sesak, apalagi ikut bergabung di sana, Wawa memilih menunggu sepi saja.

Mading sudah mulai sepi, Wawa berjalan santai untuk melihat ia akan di kelas mana, Wawa mencari namanya dengan sabar, dan ya, ketemu !

"XI IPA 2." Wawa membaca kelasnya.

Ia segera melenggang pergi, tak peduli siapa yang saja yang akan menjadi teman sekelasnya nanti, yang ia tahu, tidak ada Ira di sini.

Sesampainya di kelas barunya, Wawa langsung memilih tempat duduk, setelah mendapat tempat duduk yang dirasa strategis, Wawa langsung menaruh tasnya dan menduduki bangkunya.

Wawa duduk memangku tangan, sungguh tak ada semangat sama sekali, ia menoleh melihat teman sekelasnya yang baru memasuki kelas, tunggu, itu...

"Ale, Vino ?" Wawa menepuk-nepuk pipinya tak percaya, kenapa harus sekelas dengan dua orang ini ?

"Eh, Wa, sekelas kita ?" Wawa hanya tersenyum canggung menanggapi Ale.

"Dunia sempit banget ya, ga di sekolah ga di luar, ketemunya dia terus." Wawa berkata lirih.

"Apa Wa ?" Ale yang samar-samar mendengar bertanya.

"Eh, enggak."

Ino yang sejak tadi sibuk melirik sekitar tak begitu menyimak obrolan kedua temannya, ia sedang mencari Ira, ia tidak tahu kelas Ira di mana, kelasnya sendiripun Ale yang memberi tahu.

"Wa, Ira kelas mana ?"

Mendengar pertanyaan Ino, Wawa mengerutkan dahi, kemudian melirik Ale meminta penjelasan.

"Lo ga tau ?"

"Engga, makanya nanya, Ira kelas mana ?" Bukan, bukan itu maksud pertanyaan Wawa.

"Maksudnya, lo ga tau Ira udah ga sekolah di sini ?" Ino tertegun sesaat.

"Gimana ?" Ino meminta penjelasan, ia melirik Wawa dan Ale bergantian.

"Lo ga bilang Le ?" Ale hanya menatap Wawa yang bertanya.

"Ira balik ke Bandung, sehari setelah penerimaan rapor, Ira bilang udah pamit ke lo." Wawa sedikit tidak enak pada Ino.

"Bandung ? Pamit ? Kapan ?"

"Gue juga udah cerita ke Ale waktu itu."

Ino melirik tajam ke arah Ale.

"Gue ga tau cara ngasih taunya gimana, gue juga mikirnya Ira udah pamit sama lo." Ale nyengir tak berdosa.

"Jangan-jangan, yang waktu itu Ira pamit ?" Kata Ino yang entah bertanya pada siapa.

"Gue juga baru sadar, ternyata pas hari terakhir sekolah itu Ira pamitan sama gue, gue ga kepikiran kesana waktu itu. "

Mereka berdua baru sadar, ternyata Ira sudah berpamitan waktu itu, Ira sungguh tak bisa ditebak.

Pembicaraan mereka terhenti saat seorang guru memasuki kelas, mereka duduk di bangku masing-masing.

~~~

Bel istirahat sudah berbunyi, semua siswa berhamburan ke kantin yang sudah lama tak mereka kunjungi, ramainya kantin membuat hawa di sana sedikit panas, namun hal itu tak membuat antusias para siswa berkurang.

Wawa duduk di salah satu meja kantin bersama siswa lain, ia makan dan sedikit berbincang dengan mereka, ia sedikit iba melihat Ino di seberang sana, sejak tau Ira sudah tidak disini lagi, ekspresi ini berubah seketika, mungkin Ino merasa kehilangan ?

Ale yang tau situasipun berusaha tak banyak omong, ia menikmati makanannya dalam diam, membiarkan Ino berkutat dengan pikirannya sendiri.

~~~

Hari demi hari mereka lewati, perlahan, mereka mulai terima keadaan, mungkin sudah takdirnya, Ira kembali ke Bandung, ke kampung halamannya, lebih dekat dengan saudara-saudaranya.

Ino juga sudah kembali seperti biasa, lagi-lagi ia terpilih menjadi ketua kelas, ia menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.

Ale juga masih sama, masih menganggap dirinya manusia paling bahagia di dunia, ia juga sering menghibur Wawa, tak tega rasanya melihat Wawa yang dulunya ceria menjadi sedih seperti itu.

Wawa juga sudah mulai terbiasa, semakin kesini ia semakin dewasa, tak lagi menyalahkan keadaan yang membuatnya terpisah dengan Ira, sifat cerianya juga sudah kembali.

Namun, tak dapat dipungkiri, kepindahan Ira membuat mereka merasa kehilangan, seperti ada yang kurang dan hilang, tapi mereka sadar, tak selamanya kehidupan berjalan sesuai dengan keinginan mereka, jadi, mau tak mau mereka harus terima kenyataan.

Ketiganya menjadi teman baik sekarang, takdir juga yang membuat mereka berada di kelas yang sama, meskipun tanpa Ira.

Wawa juga semakin istiqomah dalam memperbaiki diri, lagi-lagi walaupun tanpa Ira, Wawa harap, saat ia bertemu Ira kembali, ia sudah menjadi Wawa yang lebih baik dalam segala hal, terutama akhlak dan imannya, karena Wawa yakin, di sana, Ira juga sedang berjuang memperbaiki diri.

~~~

See u di next part, thank u 🤗🧡

Namaku Ira [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang