Part 9: Disconnected

1K 121 4
                                    

Krist yang telah tersadar dari rasa sedihnya itu segera mengemasi tasnya. Hanya tas kecil dan beberapa barang yang ia bawa ketika naik ke kapal waktu itu. Semua barang-barang dan fasilitas yang dimilikinya sekarang adalah pemberian Singto yang berarti semuanya harus ditinggalkan.

Krist mencatat alamat Mr. Winson yang ada di notes handphone nya di atas kertas, lalu mematikan handphone itu dan meletakkannya di atas meja makan. Ia pergi meninggalkan penthouse mewah itu tak sampai satu jam dari setelah live berhenti. Sebelum Singto dapat mengejarnya.

Krist melambaikan tangan ke taksi yang ada di depan apartemen.

"Kemana, mas?"

"Terminal bus."

Beberapa menit kemudian, Krist sampai di terminal bus dan langsung menuju loket.

"Apa ada satu tiket ke provinsi Canna?"

"Beruntung sekali mas,  hanya ada satu bus ke Canna dan akan berangkat 10 menit lagi. Kau masih bisa mengejarnya.", ucap petugas loket seraya memberikan satu tiket bus.

Krist sedikit berlari untuk mengejar bus yang akan segera berangkat ke provinsi Canna. Di bus itu, hanya ada 10 orang termasuk Krist. Memang sedikit orang yang ingin pergi ke provinsi tersebut karena merupakan tempat terpencil yang tak banyak hiburan, transportasi kesana pun sulit. Tidak ada bandara, stasiun kereta api, maupun pelabuhan. Orang yang tinggal di Canna kebanyakan adalah generasi tua yang ingin bersantai, menikmati udara segar dan alamnya yang indah, serta menikmati hidup yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan segala polusinya.

Di bus itu Krist duduk sendirian, tidak ada orang di sebelahnya. Biasanya Singto yang selalu ada di sampingnya. Ia takut jika suatu saat Singto pergi dari hidupnya, namun kini justru ia yang pergi meninggalkan Singto. Krist menangis, membenamkan wajahnya ke tas jinjing yang dibawanya. Menangis tanpa suara agar tak mengganggu orang lain, tetapi seluruh tubuhnya gemetar.

***


"Hai, Belle.", ucap seorang wanita yang nampak seumuran dengan ibu Singto dan tak kalah cantiknya. Wanita itu menggunakan gaun krem berenda. Rambutnya hitam legam dan tersanggul ke belakang dengan riasan kepala sebuah mahkota kecil.

"Yang Mulia Ratu Alana.", ucap ibu Singto, wanita yang mengenakan gaun berwarna merah maroon itu membungkukkan diri dan memberi salam ala tuan putri.

"Kenapa manggil kaya gitu sih? Kita kan teman dekat. Gak usah formal, santai aja hahaha."

"Tetap saja rasanya aneh memanggil seorang Ratu Edelweiss dengan namanya saja"

"Kan kita cuma ngeteh, bukan di acara formal."

Tidak lama kemudian, datanglah 2 orang wanita lainnya, yang satu seusia dengan ibu Singto dan Ratu Alana, sedangkan yang satunya adalah Putri Diane. Kedua wanita itu ikut bergabung duduk bersama Ratu dan ibu Singto.

"Hai kakak. Hai Belle.", ucap wanita yang mengenakan gaun coklat muda. Garis tipis kerutan di wajahnya nampak ketika wanita itu tersenyum.

"Tuan Putri Marcelie...", sapa ibu Singto.

"Apa kabar, nyonya Ruangroj?", salam putri Diane.

"Kabar Baik, Putri Diane."

Ratu Alana, Putri Marcelie, dan Nyonya Ruangroj adalah sahabat sejak kecil. Ketiganya selalu masuk di sekolah privat yang sama dan memang sudah berjanji untuk saling menikahkan anak-anaknya kelak.

"Belle, harusnya kau ajak Singto. Ada Diane disini, kan mereka bisa ketemu.", kata sang ratu.

"Singto sedang ada live press conference."

Blossom of Snow (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang