Gue membasuh wajah gue agar terlihat lebih segara dibanding sebelumnya yang terlihat luamyan kacau. Dengan wajah yang lurus menatap ke depan cermin, gue mendadak membeku melihat wajah gue yang lumayan pucat. Mungkin efek menangis tadi.
Entah berapa lama gue berada di kamar mandi milik Kevin. Menangis haru akan kebahagiaan juga menangis akan keraguan dan ketakutan gue.
Gue diam memandangi alat testpack bergaris dua itu yang seakan mengejek keadaan gue sekarang. Dengan cepat gue mengantongi alat itu kemudian bergegas keluar dari kamar mandi yang di sambut tatapan khawatir milik Kevin.
Entah sejak kapan cowok itu berdiri di depan kamar mandi.
Sialnya, gue malah kembali menangis begitu melihat Kevin. Seakan berdosa udah merencanakan hal yang sudah jelas sangat ditentang oleh cowok itu, gue dengan wajah sembab melingkarkan tangan gue di pinggangnya seraya menangis di dadanya.
"Hei, kenapa?"
Gue menggelengkan kepala seraya mencoba meredakan tangisan gue yang entah kenapa seolah-olah gak bisa berhenti.
Kevin menangkup wajah gue tanpa melepas lingkaran tangan gue di pinggangnya. Jempolnya mengusap pipi gue yang basah, dengan lembut ia bertanya pelan membuat gue semakin gak bisa menghentikan tangisan gue.
"Apa makanan tadi bikin kamu mual? Kamu gak keluar kamar mandi hampir satu jam."
Gue hampir satu jam di kamar mandi? Woah lama juga.
"Makanannya gak bikin mual, tadi ada kecoak di depan pintu kamar mandi pas aku mau keluar. Sialnya kecoa itu gak pindah dari posisinya, makanya aku diem sampe kecoa itu pergi huhuhu aku takut," kata gue beralasan.
Kevin yang mendengar jawaban yang keluar dari mulut gue hanya tertawa geli seraya mengusap-usap rambut gue.
"Lain kali bilang ya, jangan bikin aku panik."
Dengan wajah basah dan sembab, gue mendongak menatap Kevin yang tengah tersenyum lembut.
"Ya, aku salah."
Masih mengusap rambut gue, "nope." Bisiknya seraya mengecup pelipis gue yang sedikit basah oleh air tadi.
Sekarang mungkin belum ketauan, tapi gimana untuk kedepannya?
Dan, gue pun ragu Kevin gak menaruh curiga apapun. Karna gue yakin, kebohongan kecil yang gue bikin selalu terlihat jelas dan kontras bagi cowok itu. Makanya gue bener-bener hopeless jikalau emang cowok itu sadar bahwasannya gue udah banyak berbohong dengan kedok alasan yang gak jelas.
"Tadi Bomin telfon, bilangnya sih mau curhat masalah pacarnya. Emang mereka lagi ada masalah? Dari kemarin isi snapgramnya quots galau gitu." Kata Kevin heboh sendiri.
Yang paling bikin Kevin heboh tuh ya, berita buruk punya Bomin. Alias biar bisa di ledelin anaknya. Gatau deh dua orang ini yang statusnya sepupuan itu kalo ketemu akurnya pas intro doang, pas udah reff baru saling ngeledek.
kayak lagu aja reff sama intro.
"Hm? Mereka udah putus sebelum graduation malah. Kalo gak salah si Aulianya itu mau lanjutin S2 ke Swiss dan Bomin sendiri gak mau LDR-an, ya gitu deh."
Kevin menganggukan kepalanya mengerti mendengar penjelasan gue barusan. Sedikit-sedikit gue jadi menghentikan tangis gue dan cukup terhibur karna melupakan masalah tadi sejenak, lebih memilih menceritakan kelakuan Bomin yang aneh dan random pada Kevin.
"Sebenernya ngide dari mana sih dia mau nyari pacar di Tinder?"
Gue terdiam sesaat mendengar pertanyaan dan diselingi beberapa gerutuan itu. Memutar otak sejenak, gue jadi merengut dan mencebik kesal sembari menatap Kevin.

KAMU SEDANG MEMBACA
RBB | Kevin Moon
Fanfiction[alternate Universe] ❝I know that I need someone to look after me and all I do. But no one else makes me smile the way you do. You're a bad boy and you're bad for me❞ Sequel of Bad boy Kevin Moon ©jungsereal 2019 cover by @aquilaeee