O36

425 93 17
                                    

"Gue berangkat Minggu depan,"

Setelah makan Suki tadi, Bomin dan Stella memilih berjalan-jalan di sekitar mall. Yunho sendiri sudah melipir ke stand baju-baju, katanya sayang udah masuk ke Mall tapi gak beli baju. Alhasil, ketiganya berpisah dengan Bomin dan Stella yang masih bersama.

Ah, sebenarnya Bomin juga ingin ikut memilih beberapa kemeja bersama Yunho, tapi laki-laki itu tak mau meninggalkan Stella. Apalagi dengan keadaannya yang berbadan dua.

"Lo beneran pergi ke sana?"

Stella mengangguk mengiyakan. "Gue cuman mau cari suasana baru. Disini rasanya terlalu banyak kenangan yang menyakitkan hahahaha"

"Gue cuman mau jauh-jauh dulu, sampe membaik. Pun, little beans ini kayaknya bakal rewel banget. Dia gak doyan makanan lokal, persis bapaknya. Ngadi-ngadi banget emang ini calon anak orang kaya," ujar Stella sembari mengelus perutnya yang masih sedikit rata.

Bomin mendengus. "Setau gue ya, ngidam tuh nanti. Kalo udah beberapa bulan gitu, kok lo udah ngidam aja?"

"Kurang tau sih gue. Tapi untungnya morning sickness gue udah sedikit mendingan dibanding kemarin. Berkat bantuan ibu-ibu yang gak sengaja ngomong sama kita pas di klinik. Dia saranin gue buat minum teh mint sama biskuit vegan setiap pagi, manjur juga ternyata."

Bomin lantas memasang wajah julid, "Anak Kevin nyusahin lo banget sih," keluhnya yang dibalas kikikan oleh Stella.

"Lo gak mau temuin mereka?"

"Mau,"

Bomin mengambil satu tangan Stella, mengajaknya bergandengan. Sudah rahasia umum kalau Stella kurang nyaman saat menaiki tangga eskalator, dan hal itu sudah hapal di luar kepala dari seorang Bomin Anandika.

"Mereka cukup tau gue ke New York aja, kan? Mereka gak perlu tau soal gue hamil."

Bomin membasahi bibirnya, "Tapi mereka pasti udah tau." ujarnya sembari memamerkan senyum kecut.

Ah, benar juga. Mereka adalah relasi Kevin, otomatis tau segalanya. Mungkin hal yang Kevin katakan di bandara juga mereka sudah tahu. Atau mungkin belum?

"Bomin,"

Bomin tak menjawab panggilan itu. Ia hanya menatap seakan menjawab panggilan dari si perempuan. Keduanya masih bergandengan, mengingat masih berada di eskalator. Hingga saat semakin ke bawah dan mereka sudah berada di lantai terakhir pun, Bomin tak melepaskan tangan keduanya. Masih menunggu Stella menyelesaikan ucapannya, sembari membawa kakinya menuju ke basement, dimana mobil miliknya terparkir di sana.

"Kalau mereka tanya tentang keadaan gue, bantu bilang kalo gue besok ada janji di klinik kemarin buat aborsi."

Bomin tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Apa yang perempuan itu katakan padanya sekarang, sudah pasti ada sangkut pautnya dengan sepupunya.

Jadi selama ini firasatnya akurat? Dan kejadian ia menjemput perempuan itu di bandara karna Kevin mengatakan untuk menggugurkan kandungan nya? Brengsek.

Kalau boleh jujur, mungkin Bomin adalah orang paling senang di dunia ketika tau Stella tengah berbadan dua sekarang. Ingatkan fakta bahwa ia menangis ketika melihat layar USG yang menampilkan dua titik yang mungkin tak lebih besar dari ukuran kacang. Bahkan ia aktif bertanya-tanya kepada sang Dokter apa yang harus di lakukan dan tidak di lakukan. Wajar kalau Ibu-ibu kemarin mengiranya adalah suami Stella karna saking pedulinya.

Bomin sudah tentu senang, karna ia adalah anak tunggal, dan sangat suka anak-anak. Ucapan Stella barusan seakan menyentil batinnya. Ia merasa terganggu.

"Lo mau gugurin mereka?"

Stella paham. Suara Bomin yang serak adalah puncak dari segalanya. Laki-laki itu berusaha menahan rasa amarahnya. Memang pantas kalau Bomin marah, karna sudah terbesit di benak nya untuk menghilangkan mereka, seperti apa yang Ayahnya inginkan.

"Ya."

Bomin melepaskan tangannya yang sedari tadi menggenggam tangan Stella. Ia sudah menduga akan jawaban dari sang sahabat.

"No one love them, Bomin."

"Siapa bilang?"

Stella mendongakkan kepalanya, menatap Bomin dengan berkaca-kaca. Sama halnya dengan Bomin, ia mengelus rambut perempuan yang tingginya tak jauh hanya setengah dagunya itu.

"Ayahnya gak mau mereka ada di dunia, dan Ibunya bahkan gak tau harus apa. Mungkin satu-satunya jalan cuman ini. Gue gak mau mereka gak ngerasain kasih sayang... Gue aja gak bahagia, gimana mereka mau bahagia? Sound selfish for you, tapi gue gak mau mereka ngerasain apa yang gue rasain..."

Bomin mengelus punggung Stella begitu perempuan itu dengan tiba-tiba mendekapnya erat sembari menangis kencang. Mereka mungkin mengenal kurang dari setengah dekade, tapi Bomin jelas merasakan apa yang perempuan itu rasakan. Keduanya sama-sama bergantung satu sama lain, sejak dulu. Wajar kalau sekarang Bomin ikut menangis akan keputusan yang diambil oleh Stella.

"Stella, Listen. You have me, okay? Gue yang bakal tanggung jawab-"

"No, Bomin. Lo gak perlu! Gue udah banyak ngerepotin lo banget. Gak tau diri banget gue nyeret lo buat tanggung jawab atas kesalahan yang gue sama Kevin buat." Stella jelas menolak.

"Tapi lo gak punya pilihan lain, Stella. Gue juga dari awal udah tau rencana lo. Fakta kalau lo gagal, gue juga ikut bagian di dalamnya. Satu-satunya cara cuman ini."

Stella menggelengkan kepalanya ribut, membuat Bomin banyak-banyak menghela nafasnya.

"Gue gak keberatan sama sekali buat tanggung jawab, okay? Yang penting lo sama mereka baik-baik aja, jangan mikirin hal yang aneh-aneh. Fokus buat study lo sama rawat mereka. Yang lain biar jadi urusan gue,"

Ibu jarinya mengusap air mata yang mengalir di pipi Stella. "Lo jelek banget anjing, udah jangan nangis lagi ngapa, ih. Pokoknya ya, syarat jadi istri Bomin tuh gak boleh cengeng."

Stella dengan cepat mendorong tubuh Bomin, sehingga pelukan keduanya terlepas. Kakinya maju untuk menendang tulang kering laki-laki di hadapannya.

"SIAPA JUGA YANG MAU JADI ISTRI LO BANGSAT!"

Yunho yang kebetulan sekali baru datang tersenyum senang. Lumayan, ada drama baru.







A/n

Gak tamat kok.. kan aku cuman bercanda tadi😭😭😭

Tamatnya nanti... Gatau chapter berapa, mungkin lima atau tujuh chapter lagi😭🙏

RBB | Kevin MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang