1. MISSUNDERSTAND

350 44 1
                                    

"Plan, di sini," ujar Sammy sambil melambaikan tangannya di halaman kafe. Plan melirik ke arah sumber suara dan melambaikan tangannya Juga sebagai balasan sambil tersenyum ramah kepadanya.

"Terima kasih karena mau datang. Aku pikir kau tak akan mau membantuku. Makasih banyak, ya! Sungguh aku kesal kepada Neena yang tiba-tiba membatalkan janjinya tanpa alasan," gerutu Sammy sambil memegang lengan Plan.

"Hanya mengobrol, bukan? Tidak ada hal-hal aneh lainnya?" tanya Plan memastikan.

"Iya. Tapi kalau kau mau ada hal aneh juga silakan, aku tak keberatan. Maksudku ada banyak orang di dalam tapi, kurang satu orang untuk jadi pasangan teman Yacht.  Namanya Mean Phiravich, uhm.... kalau tidak salah." Sammy menyimpan satu jari di pelipisnya, berpikir.

"Tenang! Dia tampan dan baik. Dan kurasa dia juga hanya ingin minum saja, tidak lebih tidak kurang," sambung Sammy.

"Baiklah, kalau begitu!" sahut Plan.
Mereka kemudian berjalan memasuki sebuah ruangan yang jelas sudah dipesan.

Plan dan Sammy bersahabat baik. Mereka satu kantor dan bekerja sebagai staf di bagian Pembukuan di sebuah perusahaan makanan yang cukup besar di Bangkok.

Hari itu Jumat malam dan Yacht, pacar Sammy mengajaknya nongkrong dengan beberapa teman lainnya. Yacht meminta Sammy mengundang beberapa temannya untuk ikut nongkrong dan berkenalan dengan teman-temannya.

Sammy menyanggupi dan ia mengundang beberapa teman kantornya untuk datang ke acara itu, termasuk Plan.

Sayangnya, Plan menolak. Ia lebih suka pulang dan bermain dengan kucingnya. Meskipun demikian, Sammy tidak marah. Ini acara bebas.

Pada saat acara nongkrong dimulai, Neena tiba-tiba telepon dan bilang tidak bisa datang. Sammy kesal sebab ia merasa bersalah pada teman Yacht. Masa iya, ia dibiarkan minum sendirian dan kesepian. Akhirnya, ia agak memaksa Plan untuk ikut ke acara itu. Plan yang sudah pulang dan santai mengiyakan sebab ia juga kasihan kepada Sammy.

Mereka memasuki ruangan. Plan duduk tepat di hadapan Mean. Mereka saling memandang dan tersenyum. Keduanya terlihat biasa saja, seolah tidak menunjukkan ketertarikan satu sama lain.

Namun, saat mulai berkenalan dan berbicara tentang banyak hal ringan, mereka mulai menunjukkan rasa saling kekaguman. Keduanya mulai. Menikmati percakapan dan ikut terlibat dalam banyak permainan yang Yacht dan Sammy sengaja adakan.

Semuanya benar-benar hanya untuk bersenang-senang. Ini adalah sebuah cara  mereka untuk rehat dari pekerjaan pada penghujung hari Jumat yang bisa jadi membosankan jika saja tak menemukan teman untuk bersenang-senang.

Beberapa sudah mulai mabuk, menghabiskan banyak botol dan gelas bir dan sebagian sudah mulai pulang atau ngamar dengan teman mereka yang baru, hanya untuk satu malam. Besok masih misteri, apakah mereka akan melanjutkan hubungan atau mengucapkan selamat tinggal.

Ruangan semakin kosong. Mean dan Plan masih duduk berhadapan dan mereka masih sama-sama sadar.

"Khun kuat minum, rupanya!" Plan berkata sambil menunjuk pada botol-botol yang sudah Mean habiskan.

"Khun malah tak minum," komentar Mean.

"Aku tak bisa. Satu atau dua gelas, cukup!" ujar Plan lagi sambil mengambil botol air mineralnya.

"Itu tak berarti Khun tak kuat di ranjang, bukan?" canda Mean dengan suara yang lebih pelan dan langsung dengan cepat menutupi mulutnya dengan gelas minuman.

"Aku akan anggap aku tak mendengarnya," sahut Plan sambil mengedipkan satu matanya. Ia kemudian merapikan dirinya dan berkemas.

"Khun mau pergi?" tanya Mean.

"Uhm, sudah terlalu malam. Maafkan aku, aku harus pamit. Masih ada hal yang harus kuurus. Tapi, aku sangat menikmati perbincangan kita. Terima kasih banyak," sahut Plan lagi sambil tersenyum ramah.

"Kalau begitu, kita pergi bersama," sahut Mean sambil berdiri. Plan hanya mengangguk. Mereka pamit kepada Yacht dan Sammy dan beberapa orang lainnya lalu keluar dari kafe.

"Rumahmu di mana?" tanya Mean sambil berjalan ke tempat parkir.

"Kenapa?" tanya Plan sambil melirik ke arah Mean.

"Mau mengantarkan aku?" sambungnya.

"Ya, boleh," jawab Mean lagi.

"Tidak perlu, terima kasih. Selamat malam," ujar Plan  sambil melambaikan tangannya dan tetiba ia menjauhi Mean berjalan dengan cepat menjauhi tempat parkir.

"Eh!" Mean kaget. Ia berlari menyusul Plan.

"Khun, Khun... Khun Plan!" suara Mean agak dikeraskan. Poan yang sudah hampir mencapai ujung jalan menoleh dan menatap Mean heran.

"Ada apa?" tanya Plan sambil menghentikan langkahnya dan menatap Mean heran.

"Aku, uhm, ..., itu, ungh, aku antarkan Khun," ujar Mean. Ia menggaruk kepalanya pelan dan sikapnya sangat canggung seolah ada yang ingin ia katakan tapi tertahan di bibirnya.

"Khun Phiravich, boleh aku berkata terus terang?" ujar Plan sambil menatap Mean dengan wajah agak kesal. Wajah Mean agak kaget, tapi ia menganggukkan kepalanya.

"Sebenarnya sejak awal aku melihat Khun, Khun tampaknya tak tertarik kepadaku dan aku merasa Khun hanya mencoba ramah kepadaku. Aku menikmati obrolan kita. Dan aku jujur. Khun orang yang berpengetahuan dan berpengalaman banyak. Sungguh beruntung bisa berbagi pikiran dengan Khun. Untuk itu aku berterima kasih. Jadi, Khun tak perlu berkata apa-apa lagi. Kita tak akan berakhir di mana-mana. Jangan khawatir! Aku tak benci Khun. Lain waktu jika aku bisa, mari berbicara lagi." Plan menjelaskan panjang lebar.

Mean kaget mendengar hal itu. Plan sangat salah menilai dirinya. Justru sebaliknya. Ia juga berpikir yang sama seperti Plan. Apapun yang Plan ucapkan itulah yang ia pikirkan tentang Plan, bahwa Plan tak tertarik kepadanya dan Plan hanya beramah-ramah dengannya. Ia juga sama, bahwa ia menikmati perbincangan dengan Plan.

"Tolong jangan langsung ambil kesimpulan. Aku benar-benar minta maaf jika sikapku membuatmu tak nyaman atau bahkan berpikir sejauh itu. Kurasa kita salah paham," sahut Mean. Lalu Mean menjelaskan semua yang ia juga rasakan. Dan ini membuat Plan menganga.

"Sebenarnya, aku bahkan tidak tahu bagaimana memulai untuk mendekati Khun. Aku sangat tertarik kepada Khun, tapi Khun Plan sangat membuatku terpesona. Aku benar-benar tak bisa berkata-kata," sambung Mean.

Plan diam. Wajahnya saat itu memerah kalau saja malam tak menutupinya. Ia kemudian menunduk.

"Uhm, aku tahu ini bukan waktu yang tepat. Bagaimana kalau kita mencoba untuk memulainya lagi dan berkenalan dengan cara yang lebih baik?" tanya Mean.

"Cara yang lebih baik?" tanya Plan terlihat bingung.

"Kita bisa mulai dengan bertukar nomor kontak, misalnya. Sesudah itu, mungkin aku bisa menghubungimu untuk makan siang atau minum kopi," sahut Mean lagi.

"Khun sungguh tertarik kepadaku?" tanya Plan memastikan. Mean mengiyakan sambil mengangguk.

"Baiklah. Kalau begitu akan kuberikan nomor kontakku dan lita lewati saja makan atau minum kopinya. Apa yang ingin kau lakukan sekarang?" tanya Plan.

"Eh! Uhm, ... euh! Ka-kalau kita pergi ke ho..., uhm... ho... ho... tel, ungh, bagaimana?" tanya Mean dengan gugup.

Plan tergelak. Ia mendekati Mean dan memberikan sebuah kecupan ringan di pipi kanan Mean membuat Mean terkesiap. Ia menatap Plan dan meneguk ludah dan perlahan mendekati Plan seraya memegang kedua bahu Plan dan mendaratkan bibirnya di bibir Plan dan mereka berciuman cukup lama.

"Kita ke apartemenku saja. Mau?" tanya Plan.

"Di mana alamatnya?" tanya Mean. Plan menyebutkan sebuah alamat.

"Apartemenku lebih dekat. Mau pergi ke apartemenku?" tanya Mean sambil menatap Plan.

"Okay," jawab Plan. Mean tersenyum  keduanya berjalan bergandengan kembali ke tempat parkir dan tak lama kemudian mobil keluar dari bar dan melaju ke tempat tujuan.

Bersambung


Track 6 Mean and Plan Short Stories CollectionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang