BRAK!
Gavin membanting setumpuk dokumen yang dia bawa ke meja ruangan pribadinya di kantor, dirinya memang sengaja pergi ke kantor untuk menghindari Bianca, dia sudah tidak ingin bertemu dengan Bianca lagi, karena hal itu akan membangkitkan rasa ngilu di dadanya, seluruh administrasi telah dia urus, dan untuk penjemputan Bianca nanti, akan ada orang khusus yang ia suruh untuk menjemput Bianca.
Kepala Gavin pusing. Sebenarnya hatinya yang paling dalam berkata seharusnya dia tidak melakukan ini semua, menjauhi Bianca dan bersikap dingin kepadanya, namun tetap saja rasa kecewa terlalu mendominasi suasana hatinya, sehingga perintah kecil dari hati yang paling dalam itu pun bisa terkalahkan.
Untuk beberapa waktu mungkin Gavin akan menjauhi Bianca, tidak bertatapan muka dengannya, dan membuang semua kenang-kenangan yang pernah dia simpan. Akan ada waktunya sendiri nanti, bagi hati Gavin untuk menerima Bianca kembali, bukan menerimanya untuk hinggap lagi ke dalam hatinya, namun menerimanya jika Bianca memang seorang manusia yang harus Gavin hargai keberadaannya.
Walaupun saat ini Gavin masih belum ikhlas tentang keputusan Bianca, namun dia yakin, jika perlahan rasa itu akan berangsur menghilang seiring dengan datangnya pemilik hati yang sesungguhnya.
Gavin menghela napas panjang.
Sorot matanya yang semula tajam, kini terlihat lebih sendu, rasa sesak yang berlebihan masih melingkupi hati kecilnya yang kurang bisa akrab dengan rasa yang menurutnya kurang membuat hatinya bisa nyaman. Sejujurnya, ini adalah kali pertama Gavin mengenal cinta, Bianca yang telah menuntunnya untuk melupakan pekerjaan sejenak, dan mengisi hari dengan kata cinta yang semula dia pikir kata itu terasa menarik. Namun siapa sangka, ternyata ditengah perjalanan yang hampir saja menuju kemenangan dari sebuah hubungan, kata perpisahan justru harus ikut campur di dalam kata cinta itu sendiri.
Seharusnya bukan saat ini waktu yang tepat untuk mengenal cinta, usianya masih muda, kariernya masih harus dijunjung setinggi-tingginya, sehingga nanti jika waktunya telah tepat, maka semua akan terlihat sempurna. Namun kini, rasa cinta terlebih dahulu menghampirinya, dan membuatnya kehilangan arah, sehingga karier pun kurang ia perhatikan.
Gavin tersenyum pahit. Rasa cinta seharusnya memang tidak boleh terlalu mendominasi keadaan, sehingga yang semula terang tiba-tiba menjadi redup dalam sekejap mata.
Tok Tok Tok!
Suara ketukan pintu itu mampu membuat pikiran Gavin teralihkan. "Masuk". Ujarnya mengijinkan sang empu yang mengetuk pintu untuk masuk ke dalam ruangan pribadinya.
Pintu ruangan terbuka lebar, menampilkan sosok perempuan dengan paras cantik nan anggun lengkap dengan senyuman manisnya yang dapat membuat semua pria terpesona seketika jika melihatnya.
Dia berjalan mendekat ke arah Gavin yang tengah terduduk di singgasana ruangannya, membuat guratan bingung terlukis cukup jelas di dahinya, siapa perempuan ini? Gavin hafal betul siapa saja karyawan yang mengabdi di perusahaannya, tetapi dengan perempuan ini, Gavin yakin dia bukan salah satu karyawan yang bekerja di sini, wajahnya sangat terlihat asing di indera penglihatan Gavin.
"Selamat pagi, Pak". Ucap perempuan itu dengan sopan.
"Anda siapa ya?". Tanya Gavin.
Perempuan itu semakin melebarkan senyumannya. "Sebelumnya apakah saya boleh duduk?".
"Oh, tentu saja boleh, silahkan duduk". Perempuan itu pun mengangguk lalu mengambil tempat duduk di hadapan Gavin.
"Sekarang bisa jelaskan siapa anda sebenarnya?". Imbuhnya bertanya, dan lagi-lagi perempuan itu menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAVIN✔ [END]
Teen Fiction[COMPLETE] Perhatian! Baca cerita High School Married dulu, baru baca cerita ini. Biar nyambung. 🚫Plagiathor diharap menjauh🚫 Rank 3 #Ceritaindonesia tgl 17 Juli 2020 Mengapa aku tidak rela melihat dia menjual dirinya untuk mendapatkan uang? Bahka...