Malam Minggu

264 49 14
                                    

masih ada yang inget cerita ini nggak, ya? ._.


Tiada niat Mark mengabaikan adiknya. Hanya saja ketika Jisung menyodorkannya cerita membosankan tentang bagaimana menyebalkannya perlakuan ayah mereka membuatnya enggan mendengarkan.

Tolonglah, ia sudah hafal di luar kepala soal itu. Siapapun tidak perlu memberitahunya cerita yang sama.

Hei, adakah diantara orang terdekat kalian yang gemar mengatur kalian semaunya? Merencanakan banyak hal tanpa berunding terlebih dahulu? Usia yang lebih muda tak memberi kalian kuasa untuk berkata tidak, hanya terkadang merasa hal ini tak adil saja. Tetapi seiring waktu kalian bertumbuh, yang menghampiri hanyalah rasa jenuh. 

Sungguh, Mark sudah tak mau acuh. Silakan kalian salahkan bila suatu saat ia menjadi egois.

Ah, saat ini saja rasanya ia sudah menjadi pribadi yang egois.

"Ambil dan hadapi, Ji. Lo sendiri yang mutusin buat ambil bagian. Cepat atau lambat dia bakal nyuruh lo masuk ke sana." Mark mengarahkan mulut cangkir pada bibirnya untuk menyesap kopi panas yang baru saja diserahkan oleh pelayan kafe.

Seseorang di hadapannya berdesah dengan mukanya yang tak enak. "Gue sih mau-mau aja kalo mulai dari bawah. Lah ini..."

Mark mengatupkan mulut hingga terdengar bunyi kecap dari bibirnya. Cangkirnya ia letakkan kembali ke atas meja.

"Besok pas ke rumah gue coba bilang Papa."

"Yakin berhasil?"

"Well, seenggaknya dicoba dulu. Walaupun kecil kemungkinan dia bakal pertimbangin omongan gue." Mark mengangkat pandangannya hanya untuk menemukan wajah lelah adiknya. Adik kecil yang memiliki kenekatan tinggi untuk mengambil risiko apapun. Walau tak bisa dipungkiri, usia tidak menafikan kecemasan dan kegugupan yang kadang tampak dari gurat wajahnya.

"Huft... Semoga, deh."

"Tapi nggak usah berharap banyak. Kalo hasilnya masih alot, nanti gue coba bujuk Om Kyuhyun biar seenggaknya lo didampingin sama dia."

Tak ada yang lebih melelahkan daripada berbicara masalah keluarga. Karena mau tak mau, hati ikut bekerja. Berapa kadar empati yang semestinya kita berikan, pada masing-masing anggota keluarga yang memiliki kepribadian berbeda.

Tiga puluh menit kemudian keduanya beranjak untuk kembali ke rumah masing-masing.

***

Baru saja jarum panjang menjauhi jarum pendek dari posisi sebelas ketika Mark membuka pintu apartemen. Lampu ruang utama sudah dimatikan, tersisa penerangan lampu redup yang tertempel di dinding samping televisi.

Ia meletakkan tas olahraganya di kamar lalu beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan keringat sisa-sisa bermain futsal tadi.

Usai menyimpan baju kotor di keranjang laundry, dengan celana jeans menggantung di pinggangnya dan handuk tersampir di kepala, Mark berpapasan dengan Jaemin di keremangan.

"Loh, masih di sini? Kirain jadi pulang tadi sore."

"Tadi hujan, sih. Jadi mager."

Jaemin meneruskan jalannya ke dapur. Mark juga meneruskan jalannya ke kamar untuk berganti pakaian.

Sekeluarnya dari kamar, Mark kembali bertemu Jaemin yang masih duduk di stool dan bermain ponsel.

"Laper nggak, sih?" Jaemin mengangkat kepalanya saat mendengar suara langkah kaki Mark mendekat. Kepalanya bergerak mengikuti pergerakan Mark yang mengambil sebotol air putih dingin dari kulkas lalu duduk di seberang Jaemin.

It All Started with Broken HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang