Pity

339 62 9
                                    

Sepuluh menit mencari di tempat parkir sepeda motor, parkir mobil, hingga tepi jalan raya, Mark masih belum menemukan pemilik dompet itu. Padahal tadi ia sudah berjalan cepat. Kata satpam yang berjaga juga belum ada orang ataupun kendaraan yang keluar melewati gerbang.

Akhirnya ia memutuskan untuk kembali mencari di sekitaran tempat parkir. Saat tiba di ujung barisan parkir sepeda motor, matanya menemukan punggung dengan tas hitam sedang berjongkok. Mark mendekati pemuda yang dicarinya sejak tadi.

"Permisi, Kak, dompetnya tadi ketinggalan di dalam."

Masih dengan posisi yang sama, pemuda itu berbalik dan mengambil barang yang disodorkan Mark padanya.

"Terima kasih," ujarnya mengulas senyum tipis.

Mark melihat ada gurat muram di wajah Si Pemilik Dompet. Kemudian matanya melirik pada ban belakang vespa matik berwarna putih gading yang terpakir di depan pemuda itu.

"Hei, butuh bantuan?"

Jaemin menundukkan pandangan dan memperbaiki raut wajahnya. Kedua tangannya meraup wajah kasar. Ah, pasti sangat buruk dilihat orang asing dengan wajah seperti itu. Lantas ia berdiri menghadap Mark.

"Ah, nggak. Cuma ban kempes, kok. Saya bisa isi angin di pom bensin depan."

Kini giliran Mark yang berjongkok di samping sepeda motor Jaemin. Ditekannya ban belakang beberapa kali. Sambil memutar ban yang cukup berat, Mark meraba benda hitam itu dan merasakan permukaannya sudah halus. Ada beberapa bagian yang nampak pecah-pecah. Ia juga memeriksa ban depan, beruntung benda yang satu itu kondisinya masih cukup baik.

Mark berdiri dan mengusapkan tangannya yang kotor ke celana jeans-nya.

"Ban motornya sudah halus. Bisa jadi bocor. Sudah waktunya ganti, bahaya kalau Kakak pakai, licin. Mau saya antar ke bengkel?"

Mata Jaemin berkedip beberapa kali melihat pemuda asing itu berbicara panjang. Sejak tadi ia terheran-heran melihat orang itu memeriksa sepeda motornya dengan leluasa seolah-olah miliknya sendiri.

"Nggak perlu, tunjukkan saja dimana bengkelnya. Nanti saya ke sana sendiri."

"Kalau Kakak menolak, nggak akan saya kasih tahu."

Jaemin cemberut.

Demi Tuhan, Mark bukannya mau memaksa pemuda bersurai cokelat itu. Entah, ia hanya merasa tidak nyaman ketika melihat wajah murungnya tadi.

"Jangan begitu, saya yang nggak enak."

"Kakak bisa bawa motor cowok?"

"Hah?"

Mark berjalan ke arah sepeda motornya dan mengeluarkannya dari parkiran. Lalu kembali ke tempat dimana Jaemin berdiri.

"Kakak bawa  motor saya, nanti saya yang bawa punya Kakak."

"Nggak bisa gitu, dong. Masa kamu yang tuntun?"

Tanpa mengindahkan jawaban Jaemin, Mark mengambil sebelah tangan pemuda itu dan menyerahkan kunci sepeda motornya. Sebelum Jaemin mengembalikan kuncinya, ia memundurkan vespa Jaemin dan menyalakan starternya. Sejak tadi kunci vespa itu masih menggantung jadi Mark tidak perlu meminta terlebih dahulu ke pemiliknya.

Mark kini memutar pelan-pelan handle gas benda beroda dua itu dan menuntunnya keluar dari parkiran.

Dengan gontai Jaemin mendekati sepeda motor hitam milik Mark. Sudah lama ia tidak mengendarai motor sport. Terakhir sepertinya dua tahun yang lalu, saat kakak sepupunya, Jaehyun memamerkan sepeda motor barunya dan memaksa Jaemin untuk mencoba.

Biasanya ia memilih dibonceng oleh Jaehyun. Atau Jeno.

Ah, jadi ingat lagi, kan.

Melihat Mark yang sudah berada di jalan raya, Jaemin bergegas memakai helm full-face milik Mark yang tergeletak di atas tangki motor dan memasukkan kuncinya.

Beruntung ia masih ingat bagaimana cara menghidupkannya.

***

"Eh sini, tas kamu biar saya yang bawa."

Mark menoleh ke samping dan menemukan Jaemin sudah menyejajarinya. Pemuda itu lalu menstandarkan vespa milik Jaemin dan melepas ransel dari punggungnya. Jaemin mengambil alih ransel itu dan memakainya di depan dada.

Setelah Mark berjalan lagi, Jaemin perlahan mengikutinya dari belakang. Ia berpikir mengapa pemuda asing itu mau membantunya. Apa karena ia tadi menunjukkan wajah jeleknya?

Tentu saja.

Keluar dari kantor konsultasi psikologi, kemudian ditemukan dengan raut yang tidak begitu enak untuk dipandang. Ditambah kesialan pada vespanya. Pasti pemuda asing itu kasihan padanya.

Huft...

Sekarang Jaemin jadi mengasihani dirinya sendiri.

Tadi ketika menyadari ban sepeda motornya kempes, pikiran Jaemin berkelana mengenang masa yang sudah berlalu. Jika tidak dengan Haechan, Jaemin selalu pergi berdua dengan Jeno. Kadang bergantian membonceng jika mereka naik vespa matik Jaemin. Bahkan walau keduanya berbeda fakultas dan mengikuti kegiatan kampus yang berbeda, Jeno sering menawarinya berangkat bersama.

Jika kebetulan ia sedang pergi sendiri dan mendapatkan masalah seperti perkara ban bocor, biasanya Jaemin akan mencari bengkel dan menelpon Jeno untuk menemaninya di bengkel.

Tapi itu dulu.

Setelah Jeno membalas pesan terakhirnya hari itu, Jaemin tak lagi mau menghubungi Jeno. Begitupun Jeno yang tidak mengiriminya pesan lagi.

Kali ini ketika ia mendapatkan masalah dan tidak menelpon Jeno, sudah ada orang lain yang sukarela membantunya.

Di depan, Mark berbelok ke kiri sedangkan Jaemin harus tertahan lampu lalu lintas.


tbc

It All Started with Broken HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang