Approved

258 56 9
                                    

Usai menyuapi Jaemin yang hanya mampu menelan separuh isi mangkuk, Mark menyelimuti pemuda itu. Mark melepas jaket dan sepatunya, lantas ikut bergabung dengan Jaemin di atas kasur. Baru saja ia mengirim pesan pada Yangyang kalau ia akan datang lebih siang. Biarkan saja Kyungsoo menandainya alfa karena telat datang, pagi ini ia ingin menemani Jaemin terlebih dahulu.

Jaemin sekarang berbaring memunggungi Mark dengan berselimut sebatas perut. Sedangkan Mark duduk bersandar di kepala ranjang. Satu tangannya memijati kepala dan tengkuk Jaemin yang terasa hangat, kadang juga mengelus rambutnya yang lepek karena keringat.

Jaemin diam meresapi perlakuan Mark terhadapnya. Rasanya nyaman tapi tidak bisa tertidur, padahal ia juga sudah meminum obat. Matanya terbuka lemah menyorot jendela kamarnya.

"Kamu tau," Jaemin sedikit menggerakkan kepalanya ketika Mark mulai berbicara, "sebelum hari ini, aku punya kehidupan yang melelahkan,"

"Aku punya papa yang kaku, keras, semua hal harus berjalan sesuai keinginannya," ujar Mark menceritakan satu sosok menyebalkan dalam hidupnya. Ia melanjutkan, "aku sejak dulu nggak bisa memenuhi ekspektasinya, Jaemin. Aku bukan anak yang pintar. Orang tuaku selalu menjejalkanku dengan banyak hal supaya aku bisa terbentuk jadi sosok yang mereka mau."

Jaemin tergerak untuk mendengarkan cerita Mark. Badan yang semula membelakangi Mark, kini telentang dengan kepala miring agar bisa memperhatikan pria itu bercerita. Otomatis tangan Mark terlepas dari tengkuk Jaemin. Ia melirik ke bawah dan tersenyum saat melihat wajah Jaemin.

Tangan Mark kembali memijat pelipis Jaemin.

"Yah, seenggaknya Mamaku bukan orang yang keras juga. Tapi dia nggak pernah berusaha menghentikan keinginan Papa, walau aku udah minta. Lama kelamaan aku jenuh, aku mulai ngelakuin hal-hal yang aku mau. Konsekuensinya, aku harus berusaha lebih keras supaya aku punya alasan buat nggak melepas hal itu," Mark melirik kedua kakinya yang terbalut kaus kaki, "pertama kali aku berontak, lewat basket,"

"Waktu itu aku mikir, kalau aku langsung nurutin ketika Papa nyuruh aku mundur dari basket, hidupku selanjutnya mungkin bakal terus jadi robot dia. Papa bakal semakin berpikir kalau aku mudah dikendalikan. Cuma waktu kuliah aja aku turutin. Soal ini aku masih ngira biar bisa bebas dari Papa, aku kudu punya bekal lain. Terserahlah dikira nggak tau diri, atau dikira nggak bisa balas budi. Cerita selanjutnya bisa kamu tebak sendiri," Mark terkekeh di akhir cerita.

"Aku tadi ketemu orang tua kamu. Pasti mereka orangnya baik banget, ya, kan?"

"Saking baiknya aku sampai ngerasa nggak pantes dapet kasih sayang mereka." Pertama kali Jaemin berbicara panjang pagi itu.

Punggung Mark yang semula bersandar kemudian ditegakkan. Tangannya tak lagi memijat, kini menyibakkan poni yang menutupi dahi Jaemin, "hei, kenapa ngomong kayak gitu?"

Jaemin mendongak. "Kenyataan, Mark. Aku emang nggak pantas. Aku... yang udah buat calon adek aku menghilang,"

"Andai waktu itu aku nggak buat Mama ketemu Papa lagi, pasti adek aku udah gede sekarang. Mama dan Ayah bakal punya anak yang cantik."

"Hey... You're beautiful too... Orang tua kamu pasti bangga punya anak baik kaya kamu."

"Aku nggak sebaik yang kamu kira."

Lalu Jaemin tidak berkata apa-apa lagi. Tapi harus ia akui keberadaan Mark beberapa waktu terakhir membuat suasana hatinya membaik. Disadari atau tidak, kepedulian Mark membuat Jaemin sukarela berbagi dengannya.

Ia mengambil telapak tangan Mark dari dahinya. Lantas memeluk lengan itu dan terpejam. Beberapa kali ia menarik dan menghela nafas di sana.

"Nggak apa-apa kalau kamu merasa bersalah sama hal itu. Tapi jangan sampai perasaan itu membuat kamu merasa rendah diri... Kamu pantas mendapatkan cinta orang tuamu, atau siapapun, karena mereka cinta sama kamu. Begitupun kamu cinta mereka, kan?" Adalah kalimat terakhir Mark sebelum Jaemin perlahan lelap dalam tidurnya.

***

Tengah malam, Mark bersantai di depan televisi menyaksikan siaran ulang pertandingan basket. Udara terasa dingin karena hujan baru reda, tapi ia enggan tidur karena perutnya masih begah setelah makan mie pedas tadi.

"Makanan datang!" suara berat Lucas terdengar begitu ia masuk bersama Jaehyun.

"Buset bawa apa lagi tuh?" Mark melongok kantung belanjaan yang ditaruh Lucas di atas meja. Ada beberapa kantung berisi burger dan camilan, membuat Mark menghela napas lelah. "Masih muat lambung lo makan lagi?"

"Mumpung dibayarin Bos Jaehyun, hehe..."

"Yang bener gue dipalak sama ni anak." Jaehyun memukul kepala Lucas dengan bungkus snack. Malam ini Lucas ikut menginap di apartemen mereka. Ketiganya sudah menghabiskan banyak makanan sejak sore dan Jaehyun tadi turun ke minimarket 24 jam untuk membeli cola diikuti Lucas, yang ternyata berhasil membawa makanan lain.

"Mark, lo tadi pagi ke rumah Jaemin ya?"

"Kata siapa?"

"Ni," ucap Jaehyun seraya menunjuk Lucas yang asyik menyantap makanannya. Lucas nyengir saja. Entah bagaimana mulanya tadi saat di minimarket Lucas bercerita pada Jaehyun kalau hari itu Mark hanya berangkat setengah hari, dengan alasan merawat temannya yang sakit. Padahal Jaehyun tahu Mark berangkat lebih pagi dan pulang seperti biasanya.

"Nggak ada anak di grup yang ngabarin kalo lagi sakit juga," kata Lucas.

"Apa jenguk Jaemin, ya? Gue tau kemarin dia sakit, malemnya gue juga main ke rumah pas tante nyuruh mampir," tebak Jaehyun.

"Bucin boleh, miskin jangan. Kasihan Jaehyun ngasih adeknya ke lo kalo elo-nya sering potong gaji gara-gara bolos," ujar Lucas.

"Asem!"

"Serius lo sama adek gue?"

"Tiga rius, Jae."

"Belah dada adek kalo abang nggak percaya~" sahut Lucas meledeki Mark yang dibalas lemparan ciki oleh kawannya.

"Oke, lo gue ijinin buat deketin Jaemin. Gue tau lo bisa dipercaya. Tapi sekali lo nyakitin dia, gue nggak segan-segan jauhin dia dari lo sekalipun lo temen gue," ujar Jaehyun tak main-main.


tbc 

nulis adegan romansa Markmin kok kesannya malah kaya bapak sama anak .-.

It All Started with Broken HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang