Hari ini terasa melelahkan bagi Mark. Rekan kerjanya beberapa waktu yang lalu mengundurkan diri dari pekerjaan secara tiba-tiba. Tidak memberi tahu kepada HRD* jauh-jauh hari. Tidak pula sedikitpun bercerita kepada Mark atau rekan mereka yang lain tentang rencana kelanjutan studi di luar negeri yang mengharuskannya resign.
Padahal jika sudah mengabari sejak awal, HRD bisa mencari calon pegawai lain untuk dilatih sebelum menggantikannya. Alasannya kalau gagal berangkat dan teman-temannya sudah tahu kabar itu lebih dulu, ia takut malu katanya.
Kini tinggal Mark, Lucas, dan Yangyang mengurusi desain, konten, dan maintain media sosial dan website untuk kantor konsultasi psikologi online tempat mereka bekerja.
Sebelum itu, kepala divisi mereka, Seulgi mengajukan cuti melahirkan. Tapi karena sang Noona sudah melatih Yangyang maka lelaki itu sudah siap menggantikan Seulgi sementara.
"Luke, kayaknya kita nggak bisa atasi ini bertiga, deh. Biasanya kan Felix yang ngurusin konten interview. Kalau gue paksa ambil alih kerjaan dia, yang ada bagian gue keteteran. Empat hari ini gue telat mulu upload konten. Belum datengin narsum* yang udah janjian sama Felix dulu."
Mark memijit pangkal hidungnya lelah. Matanya perih karena hampir dua pekan ini sibuk memandangi layar komputer yang menyala terang. Kadang ia gunakan kacamata hitam untuk membuatnya nyaman di tengah pekerjaannya membuat desain dan mengedit video. Jobdesc-nya sekarang jadi bertambah dan berubah-ubah.
"Emang dari Mas Kyungsoo belum kasih informasi mau kapan buka lowongan?" Lucas menanggapi keluhan Mark tanpa mengalihkan atensinya dari sepiring pasta instan di atas meja kerjanya.
"Katanya belum nemu tanggal yang pas buat training pegawai baru. Jadi belum tau kapan buka lowongan."
"Kenapa pula mereka langsung setuju pas Felix kasih surat resign. Kan repot di kitanya," ujar Yangyang menyela. Omong-omong ia juga ikut menanggung imbasnya karena harus mengambil alih tugas Felix untuk membantu Mark. Ditambah menggantikan tugas Seulgi, ia makin merasa lelah.
"Yang coba lo bilangin soal Felix ke Teh Seulgi. Sekalian tanya kalau kita majuin jadwal hire developer baru dia oke apa nggak. Liat kalian pusing bikin gue ikutan pusing," akhirnya Lucas ikut mengeluh.
Walau begitu mereka masih tetap menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Ketiganya terkadang merasa kesal dengan ide cemerlang yang mereka usulkan sendiri di rapat kerja tahunan. Ternyata berat dijalani jika personelnya berkurang.
***
"Iya, kadang saya menangis tiba-tiba entah saat makan atau mandi. Padahal saya nggak lagi mikirin Jeno. Saya kira patah hati nggak akan seburuk sekarang. Saya sering mendengar curhatan teman saya sendiri, saya ikut bersimpati tapi dulu saya pikir mereka berlebihan. Ternyata saya nggak berbeda jauh dari mereka."
Jaemin meraih tisu di meja dan menyeka air mata di sudut matanya. Kepalanya mendongak berusaha tidak menjatuhkan air mata lagi.
"Maaf saya menangis lagi."
"Tidak apa, di sini kamu bisa melepaskan semua yang kamu rasakan." Pria yang bernama Kim Junmyeon itu menepuk pelan pundak Jaemin. "Masih ada yang mau kamu sampaikan lagi?"
Jaemin menggeleng pelan.
"Kamu suka menulis?"
"Bisa dibilang iya."
"Kalau begitu kita bisa mencoba menulis jurnal harian. Mulai besok kamu bisa menulis apa saja yang kamu rasakan setiap hari. Tulis kapan dan bagaimana ketika kamu merasa sedih di sini," Junmyeon menyerahkan sebuah buku bersampul biru pada pemuda di hadapannya. "Bagaimana tidurmu belakangan ini?"
"Tidur sebelum jam sepuluh. Tapi kadang bangun sekitar jam tiga atau jam empat. Nggak bisa tidur lagi sampai pagi. Dada saya juga kadang masih merasa berdebar."
"Bagus, sudah lebih baik dari sebelumnya. Tidak minum kopi, kan?"
"Hm."
"Setidaknya sampai pola tidurmu kembali dan kecemasanmu berkurang, Jaemin."
"Dua hari kemarin minum sekali karena lagi kangen kopi."
Junmyeon tertawa pelan.
"Sekarang kita mulai meditasi, ya. Rilekskan dulu pundak kamu."
***
Pukul tiga sore Mark sudah keluar dari ruangannya. Tadi ia meminta izin pada Kyungsoo untuk pulang lebih awal. Sejak semalam kepalanya pening dan ia hanya meminum tablet analgesik. Satu sebelum tidur dan satu di pagi hari. Sakitnya tak kunjung reda sampai sekarang. Mark ingin pergi ke dokter jam empat nanti supaya tidak mendapatkan antrean.
Saat menyapa Yeri yang duduk di belakang meja resepsionis, Mark melihat ada dompet tergeletak di atas meja, dekat pot kecil berisi pohon bonsai.
"Punyamu, Yer?"
Yeri berdiri dan melongok benda yang ada di tangan Mark.
"Bukan, kayaknya punya orang yang tadi benerin tas di sini, deh. Ah itu orangnya! Tolong kasihin ya, Mark." Yeri menunjuk ke arah pintu dan Mark mengikuti arah jari telunjuknya. Dilihatnya ada pemuda berjalan tergesa sambil membenahi tas punggungnya.
tbc
*HRD : Human Resource and Development
*narsum : narasumber
-hari bahagia-
KAMU SEDANG MEMBACA
It All Started with Broken Hearts
FanfictionKetika hidup yang senantiasa dipenuhi kebahagiaan perlahan mengkhianatimu, kau hanya tak terbiasa dan tak tahu bagaimana harus menghadapinya.