Regret

262 52 9
                                    

Pagi menunjukkan pukul sembilan saat Jaemin terbangun dari tidur. Ibunya semalam menyuruhnya pulang saat Jaemin dan Jaehyun sedang asyik-asyiknya menonton film yang menceritakan seorang agen CIA tengah melarikan diri paska mengungkapkan rahasia negaranya sendiri.

Ia bangkit dari kasur untuk membersihkan diri. Saat tengah keramas ia teringat akan jadwal konseling untuk siang nanti. Niat hati ingin tidur seharian jadi batal.

Jaemin turun ke bawah setelah berpakaian. Di dapur ia hanya mendapati salah satu asisten rumah tangga tengah mengupasi kulit bawang sebelum disimpan ke dalam kulkas.

"Mama kemana, Mbak?"

"Ibu tadi berangkat sama Bapak, katanya mau kontrol ke rumah sakit. Mas Jaemin mau saya panasi sup buat sarapan?"

"Nggak usah Mbak aku ambil sendiri aja."

Jaemin memilih sereal dan susu untuk sarapan dan membawanya ke kamar. Sambil menghabiskan sarapannya ia membuka buku bersampul biru yang akan ia bawa konsultasi nanti.

Pada lembar yang ditulisnya beberapa hari lalu, ia merenung. Ia baru menyadari, perasaan sakit yang ia rasakan belakangan bukan hanya akibat patah hati atas kisah cintanya. Ada sisa kesakitan dari kisah lain yang turut menyertai. Junmyeon pernah menjelaskan tentang itu padanya. Namun waktu itu hatinya masih menyangkal bahwa hal itu tidak ada kaitannya dengan kondisi yang terjadi padanya saat ini.

***

Siangnya Jaemin sudah berada di ruang konseling. Ia duduk setengah berbaring di atas sofa panjang. Ada Junmyeon terduduk di single sofa mencatat keluhan Jaemin.

"Menurutmu sekarang kamu sudah memaafkan dia?"

"Sudah..." pandangan Jaemin bergerak melihat tembok polos di depannya, "Mama menyuruh saya memaafkannya," tambahnya.

"Lalu?"

"Sebelum dia meninggal sikapnya membaik, dan saya merasa kami dekat kembali. Tapi–"

Jaemin menggigit bibir bawahnya. Junmyeon dengan setia memperhatikan Jaemin yang masih ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Saya menyesal..."

"Apa yang kamu sesali hingga saat ini?" Tanya Junmyeon berusaha memancing.

"Kebodohan saya waktu itu, meminta Mama mengantar saya ke rumahnya..."

Napas Jaemin memberat dan mulai tersengal.

"Lalu mereka bertengkar lagi..."

"Mama pulang... Mobilnya..."

Jemari Jaemin memainkan tali hoodie-nya.

"Adikku..."

"Mama... Ayah menangis..."

"Aku yang menyebabkannya hilang..."

Air mata turun menganak sungai di pipi pemuda itu. Bibirnya terisak. Matanya terpejam saat ia tak kuasa menahan kelebat bayangan masa lalu datang. Ujung lengan hoodie ia gunakan untuk mengusap air mata.

Junmyeon membimbing Jaemin untuk mengatur nafas agar lebih tenang. Jaemin bangun untuk duduk dan meminum air putih yang tersedia di meja. Setelah beberapa saat ia merasa lebih baik dan melanjutkan konselingnya.

Jaemin menyadari selama ini ia telah menumpukan ekspektasi tinggi pada orang lain. Saat semuanya berjalan tidak sesuai dugaannya ia melimpahkan kesalahan pada dirinya sendiri.

Selama itu pula ia menganggap dirinya sama dengan Papa. Ia turut andil membuat kekacauan di hidup Mama. Walau semua orang di sekitarnya menganggap itu bukan salahnya tapi ia merasa tak pantas mendapatkan kasih sayang mereka.

Sesi empat puluh menit berakhir. Jaemin pergi ke kamar mandi yang ada di klinik untuk membasuh muka sebelum pulang. Ia tidak membawa tisu dalam tasnya. Jadi hanya ia kibaskan saja sisa air dengan tangan dan mengeringkan dengan hoodie-nya.

Saat berjalan ke parkiran Jaemin hanya memperhatikan lantai tanpa tahu ia berpapasan dengan Mark yang baru akan naik ke lantai ruangannya berada. Mark menyadari orang itu adalah Jaemin namun ia memilih untuk tidak menyapanya.

Mark tak ingin Jaemin jadi canggung karena bertemu dengannya di sini.

Sampai Jaemin dan sepeda motornya keluar ke jalan raya, Mark baru melanjutkan langkahnya kembali ke atas.

***

"Dih, kok aku jadi sebel sama Jeno. Kesannya malah manfaatin perasaan kamu tau, nggak?"

Saat ini Jaemin berbaring di ranjang kamar Haechan sambil memeluk guling. Di perjalanan pulang tadi ia memilih untuk mampir ke rumah sahabatnya dibanding pulang ke rumah. Ia merasa mukanya kusut masai dan takut kalau kedua orang tuanya sudah pulang dari rumah sakit.

Haechan mendapati mata Jaemin cukup sembap lantas memberikan sahabatnya masker mata. Entah berfungsi atau tidak yang penting muka Jaemin tidak terlihat menyedihkan lagi.

"Aku yang bodoh, Chan. Bukan salah Jeno sepenuhnya."

"Iya kamu emang bodoh!" Haechan mencubit hidung Jaemin. "Jeno plin-plan, dan kamu bodoh. Tambah bodoh lagi kamu masih ngebela dia."

Jaemin baru saja menceritakan keadaannya pada Haechan. Haechan sudah sejak lama tahu jika Jaemin menyukai Jeno. Haechan bisa melihat mata Jaemin berbicara jujur setiap melihat sahabatnya. Jaemin juga pernah menceritakan perihal perasaannya.

Haechan pikir anak itu sudah mundur sepenuhnya saat Jeno memiliki kekasih. Ternyata dengan naifnya ia berpikir orang yang disukainya akan membalas perasaannya suatu hari nanti.

"Terus kamu kira dengan tindakan seperti itu bakal baik buat kalian? Buat perasaan Kak Renjun?"

"Udah tiga tahun Jeno bertingkah seperti memberi harapan, kamu pikir aku harus diam aja tau perasaanku dipermainkan?"

Baik Jaemin dan Haechan sama-sama menghela nafas. Perihal rasa memang rumit. Menurut sudut pandang Jaemin, Jeno telah memberi harapan palsu bertahun-tahun. Menurut Haechan, Jeno memang telah memberi harapan tapi Jaemin juga andil memupuk harapannya sendiri.

Kemudian ketika ia mulai merasa eksistensinya terancam, keberadaannya tak lagi jadi prioritas, Jaemin mendesak Jeno untuk mewujudkan harapannya.

"Dengan minta Jeno putus dari Kak Renjun buat milih kamu?" Haechan tak habis pikir dengan polah sahabatnya. "Kalau jadi Kak Renjun sih kamu udah aku labrak."

"Aku juga ngasih Jeno opsi mau jadi yang kedua."

"WHAT!?"


tbc

It All Started with Broken HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang