Family Can Hurt You Too

344 63 15
                                    

"Sudah lima tahun kamu kuliah tapi belum wisuda juga. Mau kamu apa, Mark? Kapan kamu membantu Papa di perusahaan?"

Makan malam yang semula hening tiba-tiba mencekam saat Lee Hyukjae bersuara. Walau matanya fokus pada makanan namun suaranya mampu mengintimidasi semua orang yang ada di ruangan itu.

Kecuali Mark, karena ia sudah malas dengan ayahnya. Jadi ia santai dan tidak begitu peduli saat ayahnya berbicara.

"Abang dua minggu lagi wisuda, kok, Pa. Iya kan, Bang?" Jisung berusaha mencairkan suasana.

"Hm."

"Bagus. Segera keluar dari kantor kecilmu itu. Setelah wisuda kamu sudah harus mulai bekerja di kantor Papa."

Mark kesal hingga tidak lagi berselera makan. Ia meletakkan sendok dan garpu di atas piring. "Nggak bisa, Pa. Tim-ku lagi kekurangan orang dan aku dibutuhin di sana," anak sulung keluarga Lee masih mencoba bersabar dengan ayahnya yang pemaksa.

"Buat apa Papa kuliahin kamu kalau nggak buat bantu Papa. Kalau masih sadar Papa yang bayar sekolah dan kuliah kamu, harusnya kamu tahu diri."

Lagi-lagi kalimat andalan ini yang dikeluarkan. Sudah cukup. Mark tidak ingin semakin disetir oleh ayahnya. Selama ini ia sudah menahan diri untuk tidak membalas kata-kata pedas ayahnya. Yang tidak sepenuhnya benar tapi tidak juga sepenuhnya salah.

Sebenarnya ia sudah selesai sidang yudisium dua bulan yang lalu dan telah mengurusi pendaftaran wisudanya. Hanya saja ia tidak mengabari ayahnya, hanya memberi tahu ibu dan adiknya.

Ayahnya hanya ingin Mark mengganti seluruh uang yang telah ia keluarkan dengan membuat Mark bekerja padanya. Hyukjae tidak benar-benar peduli dengan kelulusannya, pria itu hanya peduli keinginannya terpenuhi.

Ayahnya penuntut, dan Mark yang dulu terlalu penurut. Sejak kecil Mark bukan murid yang terlalu pintar, walau bukan murid yang bodoh juga. Mark hanya belajar sesuai batas kemampuannya dan menurut apa yang diperintahkan orang tuanya.

Hyukjae ingin Mark berprestasi di bidang akademik. Namun untuk masuk peringkat sepuluh besar di antara teman-temannya yang pintar, Mark harus bekerja ekstra keras. Sempat beberapa kali mendapatkan keberuntungan namun seringkali ia harus terdepak keluar.

Bagi ayahnya, prestasi itu hanya di bidang akademik. Bidang non-akademik seperti olahraga menurutnya tidaklah berguna. Walau di SMA Mark pernah beberapa kali memenangkan turnamen olahraga, kenyataan itu masih saja tidak mengubah cara pandang Hyukjae.

Jisung yang merasakan suasana semakin panas hanya mampu menunduk sambil berpura-pura tidak mendengar apapun. Sudah beberapa tahun situasi seperti ini sering terjadi, sejak kakaknya berani mengkonfrontasi ayahnya. Lihat saja, sebentar lagi pasti namanya ikut terseret.

"Kamu jangan ikut-ikut membangkang seperti Mark, Jisung. Lihat kakakmu, capek-capek bekerja tapi tidak ada perkembangan sampai sekarang."

Kan?

"Aku selesai." Mark berdiri meninggalkan orang yang menjadi sumber kekesalannya.

***

Mark duduk di atas kasur memandang buku rekeningnya. Itu adalah rekening pribadi yang Mark buat untuk menabung seluruh penghasilannya dari bekerja.

Soal ayahnya yang pamrih itu, jangan kira selama ini Mark diam saja.

Sejak Hyukjae mulai menyindirnya tentang biaya hidup, Mark giat bekerja untuk mengumpulkan uang. Freelance, part-time, magang, semua pernah Mark jalani. Tapi biaya kuliahnya terlalu besar dan penghasilannya tak mampu menutupi itu. Setidaknya ia tak perlu menggunakan ATM pemberian ayahnya untuk membiayai kebutuhannya yang lain.

Sudah lama ia ingin keluar dari rumah dan hidup sendiri. Kupingnya pengang mendengar perkataan menyakitkan dari ayahnya. Terlebih ketika membandingkannya dengan Jisung, Si Pintar yang selalu menjadi kebanggaan di rumah.

Beberapa kali Mark mendaftar beasiswa baik dalam atau luar kampus agar ayahnya berhenti mengoceh soal uang kuliah. Namun selalu gagal karena ada banyak mahasiswa yang lebih berprestasi dari dirinya. Tidak mungkin juga, kan, ia mendaftar beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu?

Sejak semester tiga Mark juga mencoba aktif di beberapa organisasi kampus. Ketika ingin mendaftar beasiswa dengan jalur itu, ia melihat ada teman-temannya yang lebih membutuhkan. Lagi pula kuota penerimaan terbatas. Mark harus mengalah dan meredam egonya hingga ia terpaksa kembali menjatuhkan diri di tangan ayahnya.

Mark menghela nafas mengingat pemikiran mudanya yang dipenuhi dendam pada ayahnya sendiri. Melihat nominal yang tertera buku kecil itu, Mark rasa sudah cukup untuk ia membiayai hidup selama beberapa bulan. Setidaknya karena rasa sabarnya yang lalu, ia bisa dengan tenang mengumpulkan uang.


tbc

Jangan lupa streaming Tiger Inside, guys! Pecah banget, wanna cry T.T

Ini warna rambut Mark namanya pink fanta bukan?

Ini warna rambut Mark namanya pink fanta bukan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
It All Started with Broken HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang