quindici ①⑤

3.4K 418 81
                                    

NinuNinu harap berhati hati saat membaca


─ ✰್

Usapan lembut pada dada bidang itu, membuat sang pria mengerang tertahan dari tidur nyenyaknya. Belum lagi, kecupan kecil yang diberikan pada lengan kekar terbuka itu, membuat sang pria membuka matanya dengan enggan.

"Masih pagi Na." Decak Jeno, membawa Nana kedekapannya.

"Udah siang Jevanka." Balas Nana yang kini mulai terkikik geli sebab punggung telanjangnya terus dikecupi Jeno.

"Masih terlalu pagi buat kita bangun."

"No! Ayo bangun! Kan lo janji hari ini mau ke rumah mama lo."

"Morning kiss dulu."

Dengan senang hati, Nana memberikan ciuman di bibir tebal milik Jeno dan dibalas lebih oleh sang pria.

"Sshh sakit Jev." Nana menjauhkan wajahnya saat tangan Jeno sudah berkeliaran di tubuh telanjangnya.

"Tapi enak kan?" Tanga Jeno dengan smirk nya.

Nana mengangguk semangat, merapatkan tubuhnya lebih ke Jeno. "Enak."

"Mau lagi?" Tanya Jeno denga suara yang semakin memberat.

Kedua pipi Nana merona sempurna, kepalnya terangguk malu yang kembali dibalas Jeno dengan ciuman di bibir mungil Nana.

Lagi, kejadian semalam kembali terulang, dengan keduanya yang sepenuhnya sadar atas perbuatan mereka. Tidak memikirkan entah apa yang akan terjadi selanjutnya, dipikiran mereka hanya ada bagaimana cara menuntaskan hasrat dan kepuasan sesaat.

Erangan nikmat saling bersautan memenuhi kamar bernuansa putih gading itu, lagi dan lagi. Keduanya saling memuaskan tanpa sadar akan kegiatan yang berakhir dosa itu.

Pelepasan kedua membuat mereka lega akan hasrat yang sudah tuntas. Nana menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh berotot milik Jeno.

"Lo berkali kali lipat lebih cantik dan sexy." Jeno mengangkat dagu Nana yang masih terengah, mengusap peluh di wajah cantik itu dengan sensual.

Nana mengangkat satu alisnya dan terkekeh sinis. "Lo baru sadar gue emang cantik. Cantiknya lebih dari Caca kan?"

"Iya, lo lebih cantik dari Caca." Jawab Jeno yang masih dengan kegiatan mengusap wajah putih Nana.

"Jadi, jangan pergi dari gue. Karena nggak akan ada yang lebih baik dari gue, sekalipun Caca." Nana mencuri kecupan di rahang tegas Jeno.

Mendengar pernyataan dari Nana, membuat Jeno menahan untuk tidak tersenyum mengejek, menahan untuk tidak membalas perkataan wanita di atasnya dengan kata bodoh, dan menahan untuk tidak tertawa terpingkal atas pernyataan menggelikan itu.

"Sure, nggak ada yang bisa ngalahin lo di atas ranjang. Dan Caca, nggak lebih enak dari lo." Jawab Jeno dengan remasan kecil di pinggang ramping Nana.

Nana mengangkat wajah dengan mata memicing kesal. "Lo udah pernah tidur sama Caca?!"

"Nggak cantik. Makanya gue bilang, Caca nggak akan lebih enak dari lo."

Senyum mengembang terpatri di wajah berseri Nana. "Oke. Gue percaya lo."

"Kalau gitu, ayo mandi. Kita ke rumah lo."

Jeno menahan Nana yang akan beranjak dari atas tubuhnya, membawanya kembali pada pelukan hangat.

"Satu ronde lagi, habis itu kita mandi." Bisik Jeno dengan rendah.

"Ngghh Je-van enakh."

"Lo juga enak, Na hhh. Sem-pit."


💮💮💮


Langkah pelan beriringan memasuki rumah sederhana yang terlihat damai dari luar. Saat memasuki rumah itu pun, suasana penuh kebahagian terasa begitu menyejukkan hati. Suara tawa saling bersahutan yang terdengar hangat di telinga.

Ini yang Nana suka jika berkunjung ke rumah Jeno. Selalu disambut dengan pelukan dan senyum hangat oleh keluarga Jeno.

"Ayo ke ruang makan, kita sarapan sama-sama. Kebetulan di dalam juga ada Caca."

Senyum Nana menghilang, diganti dengan decakan tak suka.

"Nana kenapa, sayang?"

"O-oh gapapa tante. Ayo, aku udah kangen sama masakan tante." Nana memeluk lengan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Dibalas pelukan di pinggang oleh Doyna.

Benar saja, di ruang makan sudah duduk Caca, Alan dan Jeffrey. Menunggu kedatangan Nana dan Jeno dengan tenang. Nana mengambil duduk di samping Caca agar Jeno bisa jauh dari wanita itu.

"Oh hai Nana."

Nana berdecih, memalingkan wajah dari Caca yang menyeringai.

"Tante masak apa?" Tanya Nana dengan antusias, yang dibalas kekehan gemas dari ibu rumah tangga itu.

"Mama masak ayam kecap kesukaan teh Nana loh, kesukaan Alan juga heheh." Pertanyaan Nana dijawab Alan yang duduk di hadapan Jeno.

"Oh ya? Wah teh Nana jadi gak sabar buat makan."

"Yaudah kita berdoa dulu yuk." Perintah Jeffrey. Doa dipimpin oleh Alan yang mengajukan diri dengan semangat.

Suasana sarapan pagi itu lebih berwarna dengan ocehan Alan dan Nana. Keduanya tak henti membuat suasana menjadi hidup. Membuat satu wanita muda disana berdecak tak suka, karena terus mengalihkan Doyan dan Jeffrey yang selalu tertuju pada Nana.

Saat sarapan selesai pun, Nana tak henti-hentinya mengambil perhatian Doyna dengan membantu mencuci piring. Membuat Caca harus tersingkir.

"Lo bisa senang sekarang. Tapi, gue saranin jangan terlalu larut sama kesenangan lo." Ucap Caca di samping Nana yang kini sudah berada di ruang keluarga.

Nana tertawa sini. "Nggak bisa tuh, soalnya gue bakalan seneng terus. Lo, terima aja kalau Jeno lebih milih gue dari pada lo."

"Di mimpi lo!" Caca menepis tangan Nana yang berada di bahunya.

"Ups, sorry. Kesel ya tetehnya." Nana membuat gestur membersihkan tangannya yang tadi memegang bahu Caca. "Tapi ya Ca, lo emang nggak bisa ngalahin gue. Liat, Orang tua Jevan lebih suka sama gue, adiknya juga suka banget tuh sama gue."

Caca membalas ucapan Nana dengan seringaian. "Oke, gue ngaku kalah. Lo emang lebih unggul dari gue di segala hal."

"Bagus deh, kalau lo sadar diri."

Caca mendecih samar. "Sesuka lo, Na. Kesenangan lo cuma sesaat. Sebentar lagi juga lo nangis kejer. Ditunggu aja." Ucapnya dengan pelan tanpa didengar Nana. Pandangannya bertubrukan dengan Jeno, membuat senyum keduanya mengembang. Saling mengucapkan pelan kata cinta.

─ ✰್



Astagfirullah aku nulis apa inii 😭

Tahan emosi kalian, sisain sedikit buat chapter lain.

Luce Luminosa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang